Header Ads

Beras, Sebuah Ironi Bangsa

YK, 19 Februari 2007

Beras, beras dan beras….Selalu, selalu dan selalu menjadi perbincangan yang kadang muncul memanas untuk kemudian mendingin seperti puncak Jayawijaya. Memang eksistensi beras selalu tak konsisten, di saat popularitasnya merangkak tiba-tiba ditutupi oleh permasalahan lainnya hingga menukik tajam hingga tak berujung menjadi sebuah kata bertajuk selesai. Mengapa kita sebagai bangsa besar tak segera beranjak dari satu topik permasalahan tentang butiran beras. Sungguh mengenaskan!

Berbalik badan dahulu seratus delapan puluh derajat, kita melangkah beberapa tahun ke belakang sekitar 20 tahun lampau, saat sebagian dari kita masih duduk di bangku sekolah dasar. Dengan ingus yang masih menempel di hidung, Pak Guru pernah menceritakan kehebatan Indonesia dalam menorehkan namanya di pentas internasional hingga berbuah berbagai penghargaan. Salah satu lembaga pangan dunia FAO pernah menyematkan label kepada kita sebagai negara sukses peraih status swasembada pangan. Foto presiden Soeharto kala itu, dengan selempangan yang disematkan Sekjen PBB, terasa menaikkan jiwa nasionalisme dan kebanggaan sebagai anak merah putih. Kibaran sang dwi warna menggelepar-gelepar di jantungku, mengalir deras hingga ke sunsum tulang belakang. Sebuah potret Indonesia yang begitu manis.

Entahlah apa yang terjadi sekarang ini? Tanah yang tersohor dengan zamrud khatulistiwanya terlihat gontai, rapuh bak nenek terserang penyakit osteoporosis. Sematan itu ternyata melenakan, membuat kita bermimpi jauh layaknya seekor tikus berada di sebuah lumbung padi menguning. Padahal tanpa sepengetahuan kita, petugas pembasmi hama telah siap mengusir siapa saja yang berada di dalamnya, hingga kita terperanjat terbangun dari kapal impian bahwa semuanya adalah semu.

Simaklah tajuk mass media beberapa bulan silam, semua televisi menampilkan kegetiran sosial yang sangat memprihatinkan. Keadaan negara terancam kekurangan stok pangan –beras- dan mengakibatkan harga makanan favorit sebagian besar penduduk meroket naik. Dan kembali lagi yang merasakan penderitaan ini adalah rakyat kecil.

Aneh bin ajaib, semakin meluap kemarahanku saja melihat kelakuan pemerintah yang sangat lamban mengatasi masalah ini. Terkesan ceroboh atau apalah yang mungkin bisa dikirimkan kepada pimpinan kita, penanganannya seolah menjadi anak tiri dan setengah hati. Pemerintah seolah melepaskan tanggung jawab dengan amat santunnya melakukan impor beras dari negeri tetangga sebagai alternatif pemenuhan stok beras dalam beberapa bulan ke depan.

Program operasi pasar murah dijadikan dalih menstabilkan harga beras, padahal kenyataannya dimaksudkan untuk mengalirkan stok beras yang telah menjamur dan apek dari gudang Bulog. Lalu pertanyaannya adalah: Kemanakah larinya keuntungan impor beras? Apakah momen kekurangan bahan pangan –yang dibesar-besarkan media- hanyalah trik pegawai bulog untuk meraih kekayaan di saat penduduk memekikkan kerontaannya.

Cerita ini berlanjut dengan meriahnya pasar murah; saling berdesakan, menjerit bahkan gencetan hangat, menjadi panorama saat itu. Sedianya operasi seperti ini diarahkan kepada para warga kelas bawah, namun para lintah darat -bertubuh tegap- bekerja keras pula mencuri hak warga yang telah antre berjam-jam. Kejadian yang telah menjadi rutinitas seperti ini sungguh menunjukkan kelas PNS sebagai penggelar acara. Koordinasi yang berlubang di mana-mana, tak pernah dapat diperbaiki dengan sigap. Hasilnya adalah sebuah kesemrawutan.

Apa yang selayaknya kita lakukan untuk mengubah keadaan ini menjadi lebih baik? Jika kita mengharapkan gerak cepat pemerintah, maka percuma yang didapat. Sebenarnya pertanyaan yang harus kita jawab adalah: Kapan kita lepas dari ketergantungan terhadap beras?.

Kesepakatan umum telah mengatakan bahwa beras menjadi konsumsi yang tak pernah tergantikan oleh jenis makanan lainnya. Beras seolah menjadi dewa yang apabila dilupakan maka rezeki tidak mau bertandang kembali ke rumah kita. Hampir jarang kita temukan di seluruh penjuru tanah air, orang yang telah makan ketela, sagu atau jagung akan merasa kenyang. Mereka akan terus memburu kenikmatan bernama nasi. Salahkan perilaku seperti ini?

Tak sepatutnya kita menyalahkan gairah seperti cuilan kejadian di atas. Yang patut kita sesalkan mengapa daerah-daerah yang sebenarnya menjadi kantung pemakan selain nasi sekarang bergeser menyukai nasi. Hal ini diperparah oleh para pendatang dari Jawa, transmigran, yang melakukan promosi besar-besaran menawarkan pesona nasi kepada penduduk setempat. Jika kondisi seperti ini dibiarkan berlarut-larut, sumber pangan alternatif yang amat potensial menjadi tak termanfaatkan dengan baik.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan sebagai upaya pemecahan masalah kelangkaan beras adalah sebagai berikut:
1. Dibutuhkan keberanian pemerintah untuk memberi contoh bahkan mungkin menekan warga untuk mengalihkan kebiasaan mengonsumsi nasi. Sebuah kebijakan yang tak popular ini diharapkan menjadi didikan kepada masyarakat bahwa makanan lain murah dan juga layak diasup
2. Kesediaan rakyat untuk melakukan program Iritisasi nasional dalam setiap lini kehidupan. Oleh karena itu dibutuhkan pimpinan yang tegas, kritis dan berintelijensi tinggi, sehingga program-program yang berkaitan dengan distribusi pangan menjadi lancer.
3. Mengurangi gaji pegawai DPR dan petinggi negara lainnya, untuk dikumpulkan membantu rakyat miskin.

Masih banyak pekerjaan bangsa ini yang menunggu untuk segera diselesaikan. Begitu berat masalah yang terus-menerus menimpa kita. Apakah kita hanya menangis tersedu hingga sesenggukan? Maukah negara kita terjual kepada bangsa lain? Jawabannya tentu di tangan kita sendiri. Beras hanyalah contoh kecil bangsa yang butuh elusan sayang. Marilah bersama membenahi perilaku, menunjukkan kepada dunia bahwa kita tak separah yang mereka fikirkan! Semoga.



8 komentar:

  1. masih makan beras ya?
    kesyan amat ....

    BalasHapus
  2. Yah, nggak gaulll...ya tentu makan beras, keras dan lebih lama, jadi irit...Ya ditanak lah Bhay...Bikin emosi saja...Kalau di Mumbay makan apa ya?

    BalasHapus
  3. Makanan apa pula itu Bhay? Kebanyakan ngayal suku Dravida India kali....

    BalasHapus
  4. Mending singkong aja lah, biar konsekuen dengan tulisanku...kekekekekekkk...

    BalasHapus
  5. Lha wong sejauh mata memandang tetap ngeliat sawah kok ya bisa kekurangan yak?

    BalasHapus
  6. Sebuah bangsa kaya yang bocor ya....

    BalasHapus