Header Ads

Ayahku yang Tersisihkan Olehku

                Ayahku lahir 51 tahun tepatnya saat pecah perang kemerdekaan negara Kamalasdzu di sebelah barat pulau Kodrutxi. Sekarang beliau tinggal di sebuah kota kecil di tengah pulau mungil bernama Jawahe yang terkenal dengan bisnis persilatannya. Dulu ayahku terkenal sangat mahir memainkan kulit bundar baik itu sepakbola maupun bola voli. Badannya tegap, tinggi, namun kelihatan sedikit mengendur otot-ototnya sekarang ini. Maklum saja usianya sudah melewati setengah abad. Namun yang membuat khas adalah kulitnya yang semakin hari semakin gelap seperti pantat panci di dapur bundaku.

Menurut cerita bundaku, ayah dulu tak terlalu mementingkan pendidikan dalam kesehariannya. Setiap hari yang dilakukannya adalah berlatih olah tubuh sehingga jauh dari aktivitas bolak-balik halaman buku. Tak ayal prestasi akademisnya kurang menggembirakan dan tak begitu mencolok. Tapi jangan pernah menanyakan kejumawaannya di bidang olahraga, dijamin seluruh kampung mengenalnya dengan amat takzim. Kondisi ini sedikit menguntungkan aku dalam hal kepopuleran.

Lain sisi pemikiran bunda lain pula kesanku terhadap ayahku. Sosok ayah menurutku masih belum dapat menyalip keberadaan bundaku dalam kegigihan dan motivasi. Ayah terkesan lembek dalam menetapkan suatu keputusan dalam kehidupan keluarga, aba-aba komando seringkali hanyalah terucap dari mulut bunda. Terutama masalah pendidikan anak-anaknya, justru bundalah yang berada di garis terdepan.

Pernah suatu masa aku menanyakan ke bunda, “Bunda tertarik dengan ayah karena apa?”. Tak ada guratan penyesalan beliau memilih ayah sebagai suami, tak ada keluhan bahwa tanggung jawab beliau melebihi kapasitas seorang pria. Jawabannya adalah “Kami berjodoh, Mas”. Sebenarnya kalimat tersebut tak seketika diucapkan saat menangkis pertanyaanku, tetapi melalui berbagai permasalahan sengit yang telah dientaskan dari wajan penggorengan hidup. Perselisihan, kesalahpahaman, pemberontakan anak-anak, bermuara menjadi sebuah kalimat Penerimaan sang Pendamping Apa adanya.

Saat ini aku baru menyadari bahwa di balik kelemahan ayah, tersimpan segudang kelebihan yang kadang silau dihadapanku. Ayah tak pernah mengeluh saat problem terbentang di depan kami, seorang pribadi yang ringan tangan melakukan tindakan sepele yang sarat makna. Itu mencuri hatiku sekarang, dulu belum terlintaspun barang secuil. Membersihkan rumah kami nan mungil, mencuci baju anak-anaknya yang malas maupun membongkar pasang genteng saat hujan datang.

Aku adalah pribadi campuran dari kedua insan yang saling mengisi tersebut. Sifat ibuku yang pantang menyerah, cerdas, cerdik dan sedikit angkuh mengalir di separuh darahku. Selebihnya dihiasi perilaku ayah yang sabar, mau berusaha dan mengedepankan kepentingan orang lain. Tapi sebenarnya itu hanyalah ucapan manis penuh racun mematikan. Mereka berdua hanyalah pematik api bukan pematuk batu kehidupanku. Masih terbentang jalan terjal menjadi seorang ayah sejati yang melebihi ayahku sekarang ini. Semoga ayah di rumah selalu membumbuiku dengan doa-doanya.Maafkan aku ayah jika belum bisa menjadi kebanggan keluarga sepenuhnya. Dengan izinmu aku bertekad menabuh genderang perang kehidupan ke depan. Semoga.

 

4 komentar:

  1. kesyan ayahnya ... dimanfaatin anak-anaknya nyuci baju. mestinya skrg anak2nya nuciin baju ayahnya. ato beliin mesin cuci biar ayah ga nyuciin baju.

    BalasHapus
  2. Ya biasa anak badung semua...tapi cerdas kan?

    BalasHapus
  3. ayah, papa, abah....pencetus lahirnya kita.seperti apapun beliau, yg pasti aku sayang papa.....

    BalasHapus
  4. iya je Dan...aku harus koreksi nih...

    BalasHapus