Header Ads

Telinga Orang Indonesia (Sekarang) Tak Berfungsi Dengan Baik?

Satu lagi yang sedikit perlu mendapatkan perhatian bagi perjalanan bangsa ini adalah kepercayaan diri masyarakat terhadap penggunaan hasil budidaya bangsa lain yang kadangkala terlalu berlebihan. Sebagai contoh adalah maraknya penggunaan telepon genggam dalam satu kantung, GSM dan CDMA –penggunaan kata ini kedua kalinya dalam blog saya, seolah hal ini menjadikan keberadaan seseorang menjadi ternaikkan.


 


Sangat geram melihat kecenderungan masyarakat, yang oleh beberapa kritikus disebut sebagai krisis ekonomi maya, dikala kondisi negara masih mengalami fluktuaksi ekonomi, masyarakatnya bergerak meninggalkan pemerintahan dengan mengekspresikan dirinya melalui penghargaan teknologi yang sangat apatis. Apabila kita mau jujur, lapisan masyarakat manakah yang tidak terjangkau oleh tiupan magis nan melenakan bernama teknologi informasi telepon genggam. Tak dapat disangkal juga jikalau benda mungil, dengan daya jangkauan spektakuler, telah menjadi barometer pengklasifikasian –pengkastaan lebih tepatnya- masyarakat.


 


Teknologi informasi mengalami ledakan dalam pemanfaatan pada awal  1990-an yang dimulai dengan ekspansi perusaahan multi nasional yang menanamkan modalnya di Indonesia. Perusahaan semacam Ericsson melebarkan sayap pengaruhnya dengan menawarkan telepon genggam, yang untuk saat itu, hanya layak dimiliki oleh golongan atas. Tidak seperti barang mewah lain -seperti televisi yang apabila tetangga dekat telah memilikinya, maka dengan serta merta ingin mengekor- maka lapisan bawah tidak mengalami apa yang disebut inconsistency on thinking yakni sebuah gejala masyarakat yang selalu berubah-ubah dalam pendirian.


 


Permasalahan mulai terlihat ketika beberapa perusahaan komunikasi mulai berlomba-lomba dalam menjual produknya secara besar-besaran dalam harga yang sangat terjangkau. Pemain pasar baru bernama Nokia memulai permainannya dengan amat cerdik dengan menjual berbagai keluaran disesuaikan dengan segmen-segmen peminatnya. Hal ini membuat masyarakat terperangah dan berbondong-bondong mencoba salah satu produk yang nantinya menjadi budaya global.  Berawal dari mulut ke mulut, telepon genggam mulai merasuki hati masyarakat Indonesia.


 


Setelah Nokia, perusahaan asing asal Finlandia, mengguritai pasar Indonesia dan dianggap sukses besar maka pemain pasar baru lainnya yang merupakan gabungan dua perusahaan teknologi besar Jepang dan Jerman yakni Sony Ericsson, perusahaan Amerika Serikat, Motorola, maupun Samsung dari Korea Selatan mencoba mengais rezeki dengan strategi-strategi lain. Dengan makin maraknya bisnis penjualan telepon genggam membuat masyarakat sangat berahi dan berlomba-lomba –kadang memamerkannya- untuk memiliki telepon genggam paling mutakhir.


 


Mengamati kenyataan tersebut –bombing of technology- patut disayangkan karena tidak diikuti dengan adanya kemauan bangsa kita untuk mencoba memelajari teknologinya untuk bisa diterapkan bagi kemajuan dunia informasi kita. Memang harus disadari jika teknologi telepon genggam bukan asli dari olah budi bangsa kita, tetapi bercermin kepada Negeri Tirai Bambu, Tiongkok, mereka dengan amat licik mengadopsi barang-barang luar negerinya dengan memproduksinya di pelosok-pelosok desa (home industry). Secara nalar memang ini merupakan pembajakan intelektual yang dapat merugikan bangsa pembuat, tapi jika kita bisa dengan lihai dengan “mencuri” teknologi mereka –membuat replika- maka sedikit dapat melepaskan ketergantungan terhadap produk lain.


 


Bila dicermati dengan seksama, sangat mungkin perusahaan besar –Nokia, Siemens, Sony Ericsson, Motorola, Samsung- saling mengintip kekuatan masing-masing, diharapkan kelebihan dan kekurangan perusahaan lain bisa terditeksi  untuk diolah lebih lanjut menjadi lebih baik. Oleh sebab itu jika kita tidak mau ketinggalan dalam hal kemajuan teknologi, bolehlah kita berguru kepada negeri Barat namun dengan catatan dilakukan pengembangan yang inovatif dan mencerminkan karakter diri.


 


Bagaimana dengan masyarakat sekarang yang sudah bisa dikategorikan sebagai penggila informasi tanpa disertai kedewasaan berfikir? Apakah ini mencerminkan lemahnya kemampuan intelektual bangsa kita?


Sejak dari dulu dimulai sedari Era Reformasi -yang kebablasan- masyarakat kita mengalami kegagapan berbudaya, dimana saat itu kran-kran kebebasan terbuka tanpa adanya pengawasan dari pemerintah. Gegap gempita ini menjadikan bangsa Indonesia menjadi semacam kelimpungan ketika bombardir budaya luar menyerang kearifan budaya lokal. Tanpa perhitungan yang matang, semua tawaran asing dianggap sebagai modernitas, dapat meningkatkan status sosial dan masyarakat yang menolaknya dicap sebagai manusia yang perlu dilestarikan.


 


Sangat disayangkan teknologi telekomunikasi yang pada awalnya bertujuan untuk meningkatkan efektivitas bekerja, mendekatkan jarak antar pengguna, berubah fungsi di tangan orang Indonesia, menjadi suatu alat yang mubazir. Pemicunya adalah murahnya tarif telepon yang ditawarkan oleh operator Mobile 8, dengan produknya Fren,  menjadi idola di kalangan pencinta perkembangan telepon genggam. Mereka menetapkan tariff 7 Rupiah selama 30 detik percakapan, sehingga total biaya yang dikeluarkan selama satu jam pembicaraan adalah hanya sebesar 840 perak. Sungguh fantastis gebrakan perusahaan yang berasal dari Inggris ini. Oleh karena tanggapan pasar yang begitu besar, maka waktu promosi diperpanjang sampai dengan akhir tahun 2007.


 


Dengan murahnya biaya telepon itu, masyarakat mulai beralih pemilihan dari operator GSM menjadi CDMA. Sebenarnya penggunaan operator CDMA lebih menguntungkan karena lebih murah sehingga diharapkan pengeluaran yang dulunya dibelanjakan kepada GSM bisa dialihkan ke kebutuhan lainnya. Memang saat ini orang-orang menjadi lebih ekonomis dalam berbelanja pulsa tr\elepon genggam, akan tetapi secara tidak sadar mereka membelanjakan omongan tak penting dengan amat derasnya.


 


Coba simak kelakuan orang-orang yang sudah kerasukan Jin Fren di sekitar kita. Ketika mereka melakukan hubungan telekomunikasi dengan sesama pemakai Fren maka kejadian itu berlangsung berjam-jam diselingi dengan tertawa bak seekor kuda yang meringkik, menangis seperti seseorang melihat film India bahkan kadang letupan emosi meluap dengan amat dahsyat saat egoisitas meningkat tajam. Mereka berdalih mendekatkan emosi pasangan dengan cara mencurahkan isi hatinya secara berlebihan.


“Kuping hingga panas..!”, slogan itu yang sering diperdendangkan oleh pemuja Fren, dengan perasaan amat bangga, melepaskan celotehan-celotehan yang kadang sebenarnya tak perlu. Ada baiknya jika kita melakukan perenungan bahwa dalam budaya falsafah bangsa yang menyebutkan “Gunakanlah ilmu padi, semakin berisi maka dia semakin merunduk” untuk takaran era kekinian sungguhlah jauh dari semboyan itu. Orang yang memiliki ilmu akan cenderung lebih banyak diam, karena dia sangat menjaga ucapannya, dan digunakan hanya pada waktu yang benar-benar tepat.


 


Sangat jauhlah kita dari cita-cita nenek moyang kita yang telah bersusah payah merenung, belajar dari pengalaman, dan memberikan petuah kepada anak bangsa. Kita lebih cenderung mengumbar uap di mulut, tanpa mempunyai keinginan untuk mengisi otaknya dengan asupan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memampatkan isi mulutnya. “Mengumbar omongan yang tak bermutu”, itulah kalimat yang tepat tertuju kepada kasus ini.


 


Semoga ini menjadi bahan tulisan yang mengingatkan saya ke depan, betapa pentingnya kita melakukan perjalanan ke belakang, ke dunia spiritual nenek moyang kita yang sarat makna.


 


Satu yang perlu dilakukan orang Indonesia: “Periksakan telinga anda ketika budaya bicara dengan telepon genggam tarif super murah telah merasuki anda”.


 


Salam


 


 


 


 


 

Tidak ada komentar