Header Ads

Tayangan Skandal Smackdown -Yahya Zaini Vs Maria Eva- Merugikan Anak! (Ketidakpekaan Pemerintah)

Mengutip ungkapan seorang filosof berkebangsaan Jerman, Jean Baurdrillard, “Kita bukan makhluk yang menonton televisi berjam-jam namun televisilah yang asyik menonton kita berjam-jam”, sangat pantas menjadi bahan renungan menanggapi kondisi sosial bangsa kita yang sedang hangar-bingar tanpa kepastian ini. Ada apa dibalik pemikiran seorang rakyat –dahulu tanah airnya merasa sebagai bangsa paling terhormat- sehingga berani mengucapkan kata sederhana nan bersayap. Apakah dia merasa getir melihat keadaan bangsanya yang telah diperbudak oleh teknologi bernama televisi? Atau ini hanyalah banyolan tanpa arti yang enak didengar sepintas namun beberapa menit kemudian lepas tak menempel dalam memori?

 

Berulangkali saya sebagai anak bangsa sangat miris melihat kondisi bangsa –masih- dalam pergulatan berjuang melepaskan guritan permasalahan yang tak kunjung selesai. Entah apakah ini sebuah adzab dari Tuhan ataukah kebodohan kita sendiri di dalam berfikir sehingga keluaran yang dihasilkan adalah sebuah tindakan matang melalui pengkarbitan. Budaya gagap masih tertancap di dada, kran berfikir masyarakat masih buntu, yang ada hanyalah re-action menanggapi masalah tanpa ada action untuk membebaskan diri. Mengapa kita tidak mau belajar dari orang lain bahkan bangsa lain, apakah penafsiran egois bahwa di luar keyakinan kita adalah bid’ah dan kafir telah menyelesaikan masalah dengan amat mudahnya. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan itu adalah tugas kita bersama, karena tanpa kerjasama dijamin semua permasalahan akan teronggok dengan sia-sia.

 

Menyimak perkembangan dunia pertelevisian yang sedang mengalami kemajuan dalam penuangan ide-ide, maka di lain pihak ada perkembangan terbaru yang membuat nyinyir sekaligus ingin muntah melihat sisi “bertopeng dua” daripadanya. Bisa disimak pemberitaan yang benar-benar membuat banyak orang mengurut dada, hingga kebutuhan akan tukang urut dan pijat syaraf laris manis bak kacang goreng rasa bawang, yaitu Skandal Seks pejabat Dewan Kehormatan DPR Pusat dengan artis ingusan dangdut bernama Maria Eva.

Begitu gencar pemberitaan tentang skandal seks ini hingga dibutuhkan waktu untuk menjelaskan kepada media melalui konferensi pers yang disiarkan berulang-ulang, silih berganti di seluruh stasiun swasta. Hal ini mengundang rasa penasaran masyarakat untuk mencari salinan rekaman video mesum tersebut. Tapi anehnya berita ini tepat dengan bergulirnya wacana poligami yang “diprakarsai” oleh Aa’ Gym (baca juga bahasan: Ketika Aa’ Gym Berpoligami). Pasti ada korelasi dibalik kedua berita tersebut yang saling bergantian merebutkan simpati masyarakat.

 

Sebenarnya patut disayangkan adegan perselingkuhan tersebut–yang terekam lewat kamera telepon genggam dan disebarluaskan oleh musuh politiknya- ditayangkan beberapa saluran televisi. Walaupun penampakan mereka dikaburkan dengan gambar tersamar, namun secara tidak langsung hal ini menimbulkan keresahan dalam kehidupan sosial masyarakat.

 

Kekerasan psikologis semacam ini –sama halnya dengan penayangan film dengan kekerasan, smackdown- seharusnya mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Tarik ulur tentang pengesahan Undang-undang penyiaran juga sangat berpengaruh bagi kesehatan dalam penayangan acara di televise. Banyak tayangan yang tidak bermuatan pendidikan –nyata-nyata- menjadi primadona dalam masyarkat. Contohnya tayangan ghaib, sinetron bergaya materialistis dan pemanfaatan kemisikinan di acara seperti Uang Terkaget2, dsb. Hal ini sangat jauh dari semangat negara yang selalu mendengang-dengungkan semangat maju melalui pendidikan.

 

Kita sangat memakfumi tayangan seperti skandal seks akan dengan mudah diterima oleh akal dan perasaan orang dewasa, tidakkah kita mengingat bahwa dibalik punggung kita ada anak kecil sebagai harapan masa depan bangsa Indonesia. Walaupun orang tua akan serta merta menghardik anaknya ketika mereka melihat tayangan ini, walaupun wajah mereka tertutup tangan pasti ada kebocoran pandangan juga. Mereka sangat peka terhadap perubahan di sekitarnya.

 

Baru-baru ini terjadi protes dari masyarakat peduli anak yang menginginkan tayangan keras berjuluk Smack Down diakhiri dari salah satu televisi swasta. Di beberapa daerah dilaporkan banyak anak yang cidera bahkan mengalami kelumpuhan, akibat mengidolakan dan mempraktikkan gaya berkelahi artis sandiwara khas Amerika Serikat tersebut.

 

Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut jangan harapkan tingkat kedewasaan masyarakat meningkat dengan baik, malah yang didapatkan adalah hilangnya karakter bangsa karena telah mengacuhkan kearifan budaya lokal.

 

Stasiun televisi tidak salah, karena mereka ingin menyajikan berita yang teraktual, menguak kebejatan moral salah satu peminpin bangsa. Yang patut dipersalahkan adalah PEMERINTAH yang tidak tegas dalam bersikap. Semua elemen masyarakat membutuhkan kepastian yang mengatur kehidupannya, tidak menunggu janji-janji kosong.

 

Sebaiknya kita tidak usah menunggu tindakan Pemerintah, selayaknya kita melindungi keluarga kita yaitu Anak-anak.

 

 

 

3 komentar:


  1. Yang susah menjawabnya: kenapa anak-anak masih nonton tivi jam sebelas malam ke atas? Pade kemane orang tuanye? Kok dibiarin aje?

    Dan sudah jelas, orang tua manapun takkan ada yang mau disalahkan atau dilibatkan dalam hal degradasi moral ini. Orang tua hanya akan menyalahkan lingkungan sekitar, tanpa menyadari bahwa lingkungan yang paling kecillah (baca: keluarga batih) yang sebenarnya punya kontribusi paling besar terhadap degradasi moral anak bangsa. Ibaratnya buruk muka cermin dipecah. Atau lebih tepat menggunakan istilah kutu di seberang lautan tampak, kutu di kepala sendiri ternafikan? Entahlah.

    BalasHapus