Header Ads

Perang Besar Terhadap Kesalahan Penggunaan Bahasa Indonesia


Pernah dengar seseorang bertanya dengan kalimat “Bapaknya ada tidak, mbak?”, coba diteliti dari penggunaan akhiran –nya pada kata Bapak. Betul atau salahkah? Atau pernah dengar kalimat “Buswaynya sudah berangkat?”. Sudut pandang tulisan ini hanyalah sisi pendapat si penulis yang apabila salah maka berikan koreksi, namun jika betul maka bisa dijadikan rujukan.


 


1. “Bapaknya ada tidak, mbak?”


Pertama kita lihat struktur kalimat pada kalimat dalam tanda kutip yang pertama. Seperti yang kita ketahui, melalui mata pelajaran Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar, di pendidikan formal sekolah, dijelaskan bahwa akhiran –nya menunjukkan kata ganti orang ketiga, kepemilikan dan penegasan. Untuk kasus pada kalimat tersebut, jika kita anggap sebagai kata ganti orang ketiga saya rasa tidak menemukan kebenaran yang utuh. Kalimat ini seperti biasa sering digunakan untuk menanyakan apakah Bapak X berada di tempat berlangsungnya percakapan. Jadi akhiran –nya pada kalimat di atas –dianggap sebagai kata ganti orang ketiga- tidak tepat. Kenapa kita tidak menggunakan kalimat seperti ini “Permisi, bisakah saya bertemu dengan Bapak Marjan?”, akan lebih indah.


 


Kemudian jika ditinjau sebagai kata ganti kepemilikan, malah berakibat fatal dan merusak bahasa. Tidak bisa diterima ketika kita menanyakan keberadaan Bapak X sebagai objek yang diajak berbicara dengan serta merta kita mencari Bapak daripada Bapak tersebut (alias ayah sang objek). Salah kembali.


 


Uraian selanjutnya apabila dikatakan sebagaimana sebagai penegasan, alangkah tidak sopan ketika kita berucap seperti itu. Apakah kita mau jadi bangsa yang culas?


 


Baik sudah saya jelaskan penggunaan kalimat salah tersebut, tentang bagaimana mengganti kalimat tersebut dengan kalimat yang benar, anda tentunya lebih tahu.


 


 


2. “Buswaynya sudah berangkat?”


 


Waktu saya mengambil kursus TOEFL, dengan guru pembimbing adalah dosen sastra Inggris UGM, setelah mendapat penjelasan tentang trik-trik mengerjakan ujian, saya menjadi terpacu untuk melakukan pembandingan dengan metode “ide cepat” dan bertanya seperti berikut:


“Dari penjelasan Bapak, saya mengambil sedikit kesimpulan jikalau bahasa Indonesia adalah miskin dalam perbendaharaan kosakata, apakah benar?”


Dan sang guru menjawab, “Kita perlu jujur bahwa bahasa Indonesia banyak menyerap istilah asing”.


Akhirnya terjadilah pertautan berfikir itu terjadi, ketika salah satu pimpinan saya dengan gagah berbicara, “Pokoknya, laporannya di tempat Bapaknya harus diperbaiki!”.


Nah, adakah kejanggalan dalam kalimat yang dituturkan oleh sang Boss?


 


Kalau kalimat itu cenderung ke ulasan yang pertama, sekarang kita melaju ke pokok bahasan kedua.


Penyampaian kalimat  Buswaynya sudah berangkat?”, dari segi susunan kalimat sudah salah besar. Kemudian kita analisis dari proses penyerapan kata asing yang digunakan untuk menuturkan sesuatu.


Sepengetahuan saya istilah busway adalah sebuah jalur bus bukan mengacu pada alat transportasi darat. Jadi apabila masyarakat menggunakan kalimat busway untuk menyebut bus transjakarta, maka siapa yang memulai dan siapa yang bertanggung jawab?


Dan ini tidak hanya berlaku pada serapan kata ini saja, coba cari yang lain!


 


Memang tidak bisa dipungkiri bahwa setiap bahasa akan menyerap bahasa lain sehingga dapat memperkaya kosakata bahasa asli. Tapi jikalau bahasa serapan tersebut hanya dipakai mentah-mentah tanpa memperhatikan konteksnya, sama halnya dengan “memberi orang sehat dengan antibiotik, bukannya memberi multivitamin, sehingga membuat orang tersebut sakit”.


 


Kadang saya tidak habis mengerti, mengapa pemerintah yang telah mencanangkan “Penggunaan Bahasa Indonesia secara Baik dan Benar”, tidak peka terhadap masalah-masalah ini. Ingin memajukan penddidikan kok setengah hati, bagaimana proses transfer intelektualitas –dari pejabat yang menganggap pandai- dapat dilakukan?


 


Apakah kita tidak ambil pusing dengan keadaan ini? Apakah kita akan serta merta membuang muka ketika bahasa kita secara perlahan-;ahan luntur oleh “kedunguan” kita. Hanya kita yang tahu!


Memang awalnya sungkan ketika berbahasa formal, setidaknya saya mencoba dan mempratikkan. Masa bodoh dengan celetukan orang lain, yang penting proses pencarian jati diri tetap berjalan.


 


Bahasa Indonesia memang tidak sempurna, tapi tegakah kita membiarkan dia hancur?


Sebuah judul yang menjadi pertanyaan besar buat bangsa ini.


 


 

Tidak ada komentar