Header Ads

Karakter yang Terkubur

Entah mimpi apa nenek moyang kita –pendiri Bangsa Nusantara- ketika melihat sejuta kekacauan di segala lini kehidupan negara saat ini. Bila pendiri bangsa masih hidup di era sekarang, maka dijamin mereka akan menangis darah dan menyesali mengapa sebuah bangsa -yang terbentuk karena ikatan emosi- berdiri di atas bulatan bernama Bumi.


 


Indonesia, begitu ia dinamakan, oleh anak bangsanya yang berprofesi sebagai guru sejarah jarang dijelaskan mengapa kata ini menjadi kesepakatan sebagai nama negara kita. Tebakan mengarah kepada kata penyusun “Indo” yang berarti tengah. Posisi Indonesia memang berada tepat antara dua lautan besar, Samudera Pasifik dan Hindia, dan juga menjadi penghubung Benua Asia dan Australia.


 


Oleh kalangan Filsuf Jawa posisi Indonesia benar-benar dapat dikatakan sebagai pusat bumi. Lho, bukankah Mekkah dianggap sebagai pusat peradaban oleh umat Islam, atau Vatikan oleh umat Katholik bahkan India sebagai asal muasal dua agama besar dunia yaitu Hindu dan Budha? Percayakah anda dengan wacana tersebut?


 


Memang sangat dini jika kita mengambil kesimupalan bahwa muka bumi dikendalikan kosmis Nusantara. Tapi perlu kita sadari bahwa wilayah yang membujur dari Timur Aceh ke barat Papua kaya akan sinkretisme budaya. Daerah barat yang kental keIslamannya, wilayah timur dengan pengaruh Kristen, agama Hindu dan Budha sebagai agama awal yang masih berpengaruh, membaur menjadi sekumpulan masyarakat yang kompak.


 


Berbagai ulasan ilmiah menyebutkan bahwa nusantara merupakan daerah yang dikelilingi sabuk gunung berapi dan terdiri dari tiga lempengan tektonik –senantiasa bergrerak untuk mencapai kestabilan posisi. Daerah semacam ini oleh ahli antropologi diperkirakan sebagai tempat bercampurnya berbagai budaya dunia untuk kemudian berpencar menyebar ke seluruh penjuru dunia. Besar kemungkinan segala aspek kehidupan mulai dari hubungan kemasyarakatan, norma dan tata perilaku telah dimiliki bangsa kita sebelum bangsa lain memikirkannya.


Jika kita menghubungkan posisi tersebut dengan kejadian gempa bumi 25 Mei 2005 -meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya (Negeri Mataram), sungguh dapat  dijadikan tonggak kesadaran dari keberpalingan diri. Peristiwa yang tak disangka-sangka –karena prediksi bencana akan berasal dari arah Utara yaitu meletusnya Gunung Merapi- seolah memperingatkan kita  untuk untuk kembali ke jati diri bangsa yang telah ke luar dari pakem sebagai orang timur.


 


Prof.Damardjati Supadjar sebagai orang yang peduli terhadap budaya Jawa –Islam Jawa- menjadikan momentum gempa bumi agar kita kembali ke ibu kota sesungguhnya yaitu desa. Desa dianggap sebagai hulu budaya yang belum tercemar dan menghasilkan air kehidupan. Dengan kembali ke desa maka pemikiran kita akan lebih jernih di tengah gempuran budaya hedonis yang terus-menerus dipromosikan dunia barat. Beliau berujar sudah saatnya kita kembali –nguri-uri- kebudayaan bangsa yang sesungguhnya agar dapat mendekati cita-cita pendiri bangsa.


 


Dari uraian di atas yang menganggap Indonesia sebagai pusat dunia dijadikan renuangan agar kita selalu waspada untuk menjadi pemimpin seluruh bangsa di muka bumi. Akan tetapi anggapan itu jika tidak dimaknai dengan bijak maka akan berakibat sebuah kesombongan yang menginjak-injak arti kemanusiaan. Marilah kita bergerak!


 

Tidak ada komentar