Header Ads

Fenomena Mbah Maridjan (Pendekar Gunung Merapi)

Hati-hati jika sedang menampuk suatu kekuasaan! Kalau tidak peka terhadap suara pengabdinya –apalagi merugikan- maka jangan harap kesetiaan arus bawah menjadi penopang fondasi sang penunjuk. Bahkan mungkin arus tersebut akan mengikis pelan-pelan –untuk meruntuhkan- dengan pelbagai cara baik yang elegan ataupun anarkis.

 

Masih ingat sosok fenomenal yakni Mbah Maridjan, seorang tua renta yang berasal dari Gunung Merapi sebagai juru kuncinya (Kadang aku tidak mengerti kenapa disebut juru kunci, kenapa tidak juru gembok atau juru grendel?). Tiba-tiba nama yang tidak begitu diperhitungkan di jagad pertelevisian, hiburan maupun gosip, menjadi melejit bak anak panah lepas dari busur tanpa perhitungan yang matang.

 

Dimulai dari langkah yang malu-malu, secara taktis sang penjaga gunung ini mulai menampakkan keberadaannya dengan sejuta pesan. Masyarakat awam pasti menganggap sosok ini adalah karakter yang hanya menumpang kepamoran ketika Gunung Merapi sedang begitu aktif. Namun bila diikuti sepak terjangnya sampai dengan sekarang maka bisa dipastikan Mbah Maridjan melakukan protes kepada Raja.

 

(Ide ini terlintas begitu saja ketika chatting sama Nilam, dia menyebut aku Handuk Mbak Maridjan. Awalnya ngeri juga ketika harus mengkritisi seorang Raja Mataram dari perspektif Mbah Maridjan. Tapi aku beranikan diri untuk menulis, daripada diendam dan akan menjadi penyakit. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap orang perorang, saya minta maaf)

 

Kira-kira apa yang menyebabkan Mbah Maridjan melakukan unjuk rasa, sehingga ia dengan lantang turun dari pertapaan. Apa pesan yang ingin disampaikan dan seberapa efektif cara yang dilakukannya. Mari kita bahas bersama.

 

Pada malam itu Gunung Merapi sedang sangat marah ingin melepaskan berahinya seperti seorang lelaki yang cukup matang bermaksud meluapkan segala perasaannya kepada pasangannya. Tapi sang gunung masih menunggu waktu yang tepat dan menghimpun tenaga sampai cukup masa dan massa yang akan dikeluarkan. Oleh karena itu dia melakukan perbincangan dengan sang penunggu untuk meminta pendapat kapan waktu yang tepat untuk memutahkan isi perutnya. Sang penunggu –Mbah Maridjan- sangat tahu jikalau piaraannya sedang gundah gulana, maka dengan kerendahan hati dan ketulusan mengunjungi sang anak.

 

“Mera (panggilan sayang), kelihatan sekali mukamu pucat, apakah kamu sakit Nak?”, Simbah memulai pembicaraan.

“Tidak Opa, hamba sedang sedih saja”, jawab hambar sang didikan.

“Kamu sedang memikirkan apa sehingga orang-orang di sekitarmu merasa sangat khawatir, apakah ilmu yang aku ajarkan tidak cukup untuk menata amarahmu?”, cecar Mbah.

“Begini, Opa. Sesuai dengan ajaran Filsafat semu pada pertemuan kita di Pring Sewu Resto hari Jumat weton Kliwon, Opa bilang kalau kita merupakan mikrokosmos yang berada dalam naungan makrokosmos. Jikalau salah satu bagian dari kehidupan ini ada yang melakukan tindakan di luar kewenangannya maka keseimbangan hidup akan terganggu. Tapi saya heran kenapa kita tidak pernah belajar dari kesalahan. Lihat saja contoh hutan yang menaungiku, sekarang sudah habis ditebang. Aku jadi merasa panas dan cadangan air di sekitarku habis, aku kehausan. Ingin rasanya aku membalas tindakan brutal manusia.”, cerocos Merapi.

 

Pela-pelan Mbah Maridjan mendengarkan, hal ini menunjukkan kearifan yang adiluhung bahwa ilmu tidak hanya bergerak dari atas ke bawah, namun adakalanya daerah bawah menawarkan ide yang cemerlang. Simbah merasakan cambukan yang memotivasi dirinya dari perkataan si Merapi. Simbah hanya menghela nafas dan membiarkan Merapi berfikir sehingga tidak ada kesan memeberikan doktrin, karena jikalau dogma sudah ditawarkan maka kreatifitas akan meluap bagaikan botol soda yang baru dibuka tutupnya setelah dikocok.

 

“Fikirkanlah masak-masak Mera, hidup adalah pilihan dan jangan menyesal ketika telah memilih”, nasihat Mbah.

Merapi menanggapinya dengan sedikit menggerutu, tetapi dia tahu bahwa sang penjaga memberikan keluasan Merapi untuk bertindak.

 

Malam itu Mbah Maridjan berfikir keras bagaimana menanggapi keadaan daerah sekitar, terutama fenomena di Kerajaan Mataram. Perlu diketahui bahwa dalam budaya Jawa –Yogyakarta- terdapat falsafah bahwa keraton merupakan titik tengah di antara Puncak Merapi dan Laut Selatan. Titik simpul ini merupakan pengontrol kegiatan di atas dan bawah, dan apabila di daerah tengah ini terjadi pergolakan maka bisa dipastikan upstream atau downstream akan menunjukkan gejala untuk menyeimbangkan.

 

Lihatlah sekarang ini –semoga aku terampuni- beberapa kasus di Mataram seperti pembangunan Mal, pusat perbelanjaan, yang tidak memperhatikan kepentingan orang kecil menjamur bagai cendawan di saat hujan. Masyarakat beralih perilakunya yang semula sangat menghargai alam sebagai penopang hidupnya menjadi masyarakat penganut hedonisme. Barangkali kita tidak menyadari bahwa masyarakat bawah menjerit kesakitan ketika kita memilih baju di pusat perbelanjaan. Kita tidak sadar! Mereka malu berteriak karena takut sang Raja akan bertindak semena-mena. “Sabda pandita ratu” mereka membatin. Belum lagi perilaku masyarakat pemuja nafsu, sangat memprihatinkan.

 

Padahal dalam agama disebutkan bahwa doa seorang teraniaya adalah mujarab. Rintihan mereka akan menggetarkan langit sehingga Tuhan dengan sangat rela menghukum orang yang menganiaya. Coba lihat di buku agama kembali. Hal ini diperparah dengan perilaku para pejabat yang dengan seenaknya memuluskan peraturan yang sangat menginjak-injak muka arus bawah.

 

“Kesempatan ini harus aku pergunakan dengan baik ketika Gunung Merapi melakukan aktifitas”, ide Mbah muncul.

 

Itu sepenggal cerita tentang bagaimana asal muasal sang penunggu membuat rencana protes kepada Raja.

Dan selama beberapa bulan Mbah Maridjan beraksi dengan memanfaatkan media televisi. Strateginya adalah mengingatkan pihak Kraton agar kembali ke Mataram yang sesungguhnya.

  1. Pernah dia berucap tidak bersedia turun dari Gunung Merapi ketika sangat aktif. Mbah bilang kalau dia tidak mempunyai raja, dia hanya mengikuti perintah Raja sebelumnya.
  2. Menerima tawaran menjadi bintang iklan sebuah minuman suplemen dengan jargon “Roso, Roso”.
  3. Dan yang paling aktual adalah bersama beberapa penyanyi campursari membuat video klip yang menasbihkannya sebagai pendekar Merapi.

Dengan senyuman khas dan seakan menguji kemampuan berfikir orang, Mbah Maridjan sebenarnya membarikan teguran bahwa kita yang hidup di Mataram harus kembali ke Mataram yang sesungguhnya.

 

Tapi apakah kita mengerti isyarat yang diberikan? Tergantung hati kita, jika bebal maka akan menampik masukan itu.

 

Mbah Maridjan sang tua yang cerdas.

 

 

 

 

 

 

 

5 komentar:


  1. Hidup sinergis dengan alam, dan bukan semata-mata mengeksploitasi alam demi menimbun kekayaan.

    BalasHapus
  2. Ya boleh boleh ... tapi album Alam ga muncul2 lagi. Kemungkinan besar, dia masih terhantui oleh album pertamanya yang sukses berat. Seperti para penulis yang terkena kutukan buku pertama, Alam begitu juga ...

    BalasHapus
  3. Oya? Aku sih lebih suka liat Vetty Vera, kakaknya si Alam itu..... Vetty Vera napsuin, Alam najisin.

    BalasHapus
  4. Loveless ... awas loo
    jangan pakai nama sesungguhnya ya
    dipelesetin aja .... OK
    nanti harga diriku turun, aku beli di mana?

    BalasHapus
  5. Oya, Peti Pera. Perawan Tingting Peranakan Sunda.

    BalasHapus