Pesta Durian di Akhir Tahun
Di saat mereka makan durian. Saya memilih tidak. Bukan karena ingin menghindar, tapi saya merasa tidak sepantasnya saya memakan buah itu. Ia menunjukkan strata sosial yang tinggi. Hanya orang orang tertentu yang boleh menikmatinya. Bukan orang jelata seperti diri saya. Yang hanya mengenal jeruk, pepaya, atau apel, yang setiap waktu bisa didapat di pasar pasar rakyat. Durian adalah simbol yang tak bisa saya jamah. Meski kadang bayangan untuk sekadar merasakan duri duri besar kulitnya, terus hinggap di otak saya. Saya tak menyukai bau menyengatnya. Serasa ingin muntah.
Jika saya menuruti rencana mereka, sementara tugas tugas kehidupan lain menumpuk, berlakulah saya menjadi orang yang sombong. Dan saya menebak, setelah pesta itu, akan muncul cerita cerita indah mengisahkan sensasi saat memakan durian. Ada yang tertawa, mengikik, atau malu malu kucing karena merasa lebih dari tiga butir telah ia lahap. Sombong dalam artian apa? Bukankah durian sudah menjadi konsumsi biasa bagi orang orang? Yang pasti, saya menganggap makan durian adalah kesombongan. Berbabibu, 'Durian Montong enak lo.' Sedangkan durian lokal yang tak kalah kualitasnya, menurut rasa imajinasi saya belaka, karena tak suka durian, dihilangkan secara sengaja dari otak para penikmatnya. Itu yang menjadi alasan saya. Terbersit prasangka usai melahap durian, otak kita serta merta menilai jika durian itu berasal dari negeri seberang. Lalu, apakah arti para petani bangsa yang menanam dengan susah payah, merawat, dan menunggui pohon pohon durian agar tak dicuri oleh para jahanam?
Sudahlah. Waktu makan durian teman teman saya sudah berlalu. Tinggal menunggu penilaian mereka terhadap perilaku saya yang menjengkelkan ini. Selalu mencari alasan yang terkesan ilmiah, sedangkan itu tak masuk akal, setidaknya bagi diri saya sendiri. Bagi orang lain, entahlah, kita tunggu hasil besok hari. Semoga mereka memaafkan apa yang telah saya putuskan. Karena, penghargaan terhadap keputusan orang lain sesungguhnya lebih baik, dibanding harus berceracau tanpa arah menilai keputusan saya.
Jika saya menuruti rencana mereka, sementara tugas tugas kehidupan lain menumpuk, berlakulah saya menjadi orang yang sombong. Dan saya menebak, setelah pesta itu, akan muncul cerita cerita indah mengisahkan sensasi saat memakan durian. Ada yang tertawa, mengikik, atau malu malu kucing karena merasa lebih dari tiga butir telah ia lahap. Sombong dalam artian apa? Bukankah durian sudah menjadi konsumsi biasa bagi orang orang? Yang pasti, saya menganggap makan durian adalah kesombongan. Berbabibu, 'Durian Montong enak lo.' Sedangkan durian lokal yang tak kalah kualitasnya, menurut rasa imajinasi saya belaka, karena tak suka durian, dihilangkan secara sengaja dari otak para penikmatnya. Itu yang menjadi alasan saya. Terbersit prasangka usai melahap durian, otak kita serta merta menilai jika durian itu berasal dari negeri seberang. Lalu, apakah arti para petani bangsa yang menanam dengan susah payah, merawat, dan menunggui pohon pohon durian agar tak dicuri oleh para jahanam?
Sudahlah. Waktu makan durian teman teman saya sudah berlalu. Tinggal menunggu penilaian mereka terhadap perilaku saya yang menjengkelkan ini. Selalu mencari alasan yang terkesan ilmiah, sedangkan itu tak masuk akal, setidaknya bagi diri saya sendiri. Bagi orang lain, entahlah, kita tunggu hasil besok hari. Semoga mereka memaafkan apa yang telah saya putuskan. Karena, penghargaan terhadap keputusan orang lain sesungguhnya lebih baik, dibanding harus berceracau tanpa arah menilai keputusan saya.
Post a Comment