Header Ads

CPNS DOSEN 2014 (Bagian 21): Menjemput Pertumpahan Berdarah



Tinggal lima kontestan tersisa. Saya, satu dari IPB, dan tiga dari UPI Bandung. Berkali kali, saya bersyukur karena tidak ada kandidat dari ITB yang berminat mengajar di teknik sipil Unsil. Sejak dulu, saya dan mungkin banyak teman teman teknik sipil UGM menganggap alumni ITB musuh  bebuyutan kami. Masing masing dari dua perguruan tinggi ini merasa paling unggul dan ingin menguasai jagad perteknikan di tanah air. Meski pesaing IPB dan UPI pada ujian TKB tidak sepopuler UGM kampus saya dibesarkan, saya tak boleh menganggap remeh mereka berempat. Artinya, saya harus lebih cerdik berstrategi untuk merebut satu alokasi dosen dari dua yang Unsil sediakan.

Selain jongkok di WC untuk memburu ide cemerlang, saya mempunyai kebiasaan jalan jalan mengelilingi suatu tempat biar gagasan mengalir deras. Saatnya keluar dari kamar, menghirup udara segar Tasikmalaya yang kebetulan tidak hujan pada Desember 2014 itu.

'Yang, saya jalan jalan dulu.' ucap saya pada eyang, mama sahabat Tasik saya.

'Bade kamana? Mau ke mana?' tanyanya sambil membetulkan posisi kacamatanya dalam tatapan tak membolehkan saya pergi. Agaknya ia takut kalau kalau saya keblasuk ke suatu tempat yang di situ berkumpul tante tante girang yang siap menerkam saya.

'Cari kopi, Yang!'

'Kamu kan nggak minum kopi?'

Aduh, nenek tua kempot ini kepo banget pada saya. Mau saya minum kopi, susu, teh, kecap asin, itu urusan saya. Sejurus saya sadar kalau saya membutuhkan beliau. Saya menginap di rumah beliau dengan gratis. Beliau sangat baik dan bijaksana, deh!


***

Di sepanjang jalan di sekitar rumah sahabat saya, banyak orang berjualan menjajakan makanan andalan terlezat mereka. Saya menepuk pantat saya alias dompet saya agar tak menjerit jerit dan tak membujuk saya secara sporadis agar membelanjakan duit duit di dalamnya.

Indomaret-lah yang saya pilih. Alasannya sederhana, saya menganggap toko ini bak neraka yang memanggil manggil siapa saja yang melintasinya. Warung terang benderang ini memperlakukan kita seperti laron yang mendatangi sumber cahaya.

'Selamat datang di Indomaret!' sapa dua pelayan toko yang berkostum biru-kuning-merah. Jelas itu warna kebangsaan neraka, pikir saya.

'Kenapa kalian nggak sekalian ucapin "selamat datang di neraka!'?!' gerutu saya dalam batin.

Wajah kecut saya lempar ke dua simbak di samping saya yang melaju menuju boks minuman dingin. Saya hanya butuh teh kotak dingin rendah gula. Itu cukup melegakan tenggorokan saya untuk memacu adrenalin beride saya merakit rencana agar lolos tes TKB besok hari.

Hap, saya membayar ke kasir mendapat ucapan manis lagi. Mereka bekerja untuk menyapa para pembeli. Mereka dibayar hanya untuk melemparkan kalimat sakti yang telah dibumbui jampi jampi oleh pemilik Indomaret di Jakarta sana.

'Selamat kembali berbelanja!' luncur sang kasir.

CUKUP, saya tak butuh itu semua. Ucapkan itu untuk suami kesayangan dan anak anak Anda di rumah. Saya hanya butuh teras Indomaret untuk memainkan hape dan menyusun strategi secara tepat dan khaffah.

***

Ketik: Google
Kata kunci: nama empat pesaing terakhir saya; si A IPB Bogor, si B-C-dan D UPI Bandung.

DAPAT!

Si A dari IPB sudah saya endus kekuatannya. Namanya, asal daerah, tanggal lahir, kuliah S1 dan S2nya, skripsi dan tesisnya, dan apa saja penelitian yang telah ia lakukan. Gurih benar darah si A ....

Saya tahu kelemahannya!

Si B, C, dan D, pun saya bisa ketahui biodatanya. Paling melonjakkan hati saya ialah mereka memiliki dasar ilmu S1 pendidikan teknik sipil. Lebih gurih darah mereka.

Siap sedot tepat di leher mereka!

Seluruh pesaing sudah saya petakan kekuatan dan kelemahan mereka. Otak saya langsung menganalisis bagaimana harus bertarung esok hari. Ada tiga tes--tertulis, wawancara, dan micro teaching--yang saya telah siap total. Yakin menang!

Tidak ada komentar