Header Ads

ROAD TO GARUT (1)

Bangun tidur di minggu pagi, saya teringat janji saya pada Kang Dedi untuk mengunjunginya di Kota Garut. Ia teman tes CPNS saya di Unsil Desember tahun lalu. Sejak pertemuan awal itu, kami belum pernah bersua kembali. Waktu itu, saya mengenalnya sebagai pribadi yang berbicara lirih dan lebih tenang ketimbang saya. Komunikasi terus kami jalin, karena saya mulai merombak pemikiran jika membangun jaringan silaturahim sangat penting.

'Kang, saya berangkat dari Tasik ke Garut, ya. Di mana kita bisa bertemu?'

Itulah SMS saya padanya. Karena balasannya lama, saya meluncur langsung ke Garut. Ternyata, setelah nanti bertemu dengan Kang Dedi, baru tahu kalau dia habis main futsal dan kondangan. Tanpa babibu, saya pancal motor Vario saya. Cus ke Garut kali pertama!

***

Sudah lama saya mendambakan perjalanan menikmati panorama Tanah Pasundan. Masih lekat dalam benak saya, Sunda ialah tempat para dewata duduk melingkar mengobrol sambil moci teh dan makan singkong rebus. Alunan gending Sunda menemani pertemuan akrab para dewata. Mereka terbahak, kadang saling ngotot berargumen, dan mengakhiri rapat dengan saling berjabat tangan. Pun, saya menarik gas dengan kecepatan standar 50 km/jam biar mata saya puas menjamah keindahan Sunda hasil cipta para dewata tadi.

Sepanjang perjalanan, benar jika bukit bukit hijau, sawah berundak undak, sungai yang batu batu besarnya berserakan di sana sini, memanjakan batin saya. Berkali kali saya bersyukur berada di tempat ini. Mimpi saya jadi nyata berada dan membaur di Priangan ini. Gas terus, mata tetap awas memeloti jalan raya yang nyaman.


***

Berangkat pukul sepuluh, saya sampai Garut pas waktu zuhur masuk. Masjid Agunglah yang saya tuju sekalian istirahat di sana. Sebelum masuk masjid, saya telpon Kang Dedi. Sempat saya bingung karena Kang Dedi menyuruh saya ke depan kantor kejaksaan. Aduh, bukankah lebih mudah jika dia ke masjid? Toh dia asli Garut! Namun, saya akhirnya tahu jika dia baru riweuh usai kondangan dan kedatangan saya yang bersamaan. Oh, ngono to .... Kami bertemu di depan kantor kejaksaan.

'Ayo kita cari minum, Kang!' ucap saya.

'Hayuk.' jawab Kang Dedi. 'Minum apa?'

'Teh panas, Kang.'

'Siap.'

Sudah jadi kebiasaan saya jika badan kurang enak maka teh panas penawar keletihannya. Kang Dedi bermotor di depan saya. Buru buru saya mendekati motornya dan berubah pikiran ketika melewati ibu penjual kelapa muda. Saya pikir ide baru ini lebih menarik. Kang Dedi menyetujui. Hati saya melonjak.

 Obrolan yang sempat terputus Desember tahun lalu, sekarang tersambung lagi. Saya menanyai kesehatan Kang Dedi yang saya tahu beberapa bulan lalu sakit. Pun dia menanyakan bagaimana kabar saya. Kang Dedi tampak kurus tidak seperti kali pertama bertemu. Tapi, saya senang karena sekarang bicaranya sudah bisa saya dengar karena ia mengatakan melakukan terapi lintah hingga volume suaranya lebih keras. Sekira setengah jam mengobrol sampai air kelapa muda kami habis, kami menuju rumah Kang Dedi.


***


Tidak ada komentar