Header Ads

PLAZA ASIA TASIK

Awal mendarat di Bumi Tutug Oncom, satu kata yang ada dalam pemikiran saya: senyap. Stasiun Tasikmalaya pada jam enam pagi, biasa saya ambil perjalanan via kereta dari Jogja pukul setengah dua belas malam, suasananya tidak hingar bingar. Berbeda jauh dengan stasiun lain yang pernah saya singgahi. Tidak usah jauh jauh, stasiun Ngrombo di dekat rumah orang tua saya, jam lima pagi sudah ramai oleh pengunjung yang akan melakukan perjalanan ke Surabaya, Semarang, bahkan Jakarta. Tasikmalaya memang kota tenang, pikir saya.

Namun kata sepi tidak berlaku jika kita berada di pasar Pancasila dan Cikurubuk. Di situ, kita akan mendapati pasar yang ramai oleh para pengunjungnya. Saya sebagai penggemar pasar merasa bangga berada di antara transaksi jual beli. Rasanya, bising mereka seperti pembacaan Qur'an yang menenangkan batin saya.

Bagaimana dengan denyut ekonomi di pusat Kota Tasikmalaya?

Saya pikir tidak heboh banget, sih. Sama kaya Jogja yang tokonya buka antara jam sembilan sampai sepuluh pagi. Kalau ke mal terlalu pagi, siap siap menunggu di teras sampai satpam membukanya. Walah .... jadi membahas mal!

Bagi saya, mal ialah jurig alias setan. Di situlah tempat berkumpul para hedon yang mementingkan urusan duniawi. Dalam otak dan hati mereka yang keruh, hanya ada belanja dan makan. Belum lagi muda mudi yang membelanjakan duit jajan sekolah demi untuk menonton film di bioskop. Seharusnya kan bisa mereka tabung?

Sebenarnya itu rintihan hati saya karena belum bisa belanja kalap kaya mereka, kok. Siapa sih yang nggak demen punya baju bagus, makan enak sambil nongkrong tertawa riang, dan lain rupa? Tapi mbok ya jangan sakiti hati kami yang lemah ekonomi ini!

***

Ngomong ngomong tentang mal, Tasik punya mal yang luar biasa keren. Namanya Plaza Asia. Plaza sama mal itu besaran mana, ya? Kalau kita cermati, Plaza Asia bukan mal karena terlalu kecil. Pengalaman saya di Tangerang, jalan jalan saja dan menelan ludah sampai tenggorokan sakit, mal-nya besar besar. Kalau Plaza Asia, hmmm ... tak mau komentar, deh!

Meski mungil, Plaza Asia lengkap, kok. Gramedia ada di dalamnya. Itu yang paling penting karena saya bisa berjam jam baca, sebelumnya mengendap endap sambil memilih buku dan menyobek bungkus plastiknya. Lalu duduk anteng. Dunia sudah dalam genggaman saya.

Eh, kenapa orang Tasik menyebut Plaza Asia dengan AP? Tidak PA?

Mungkin mereka tidak mau dibilang begini: 'Kau lagi di mana? PA, ya!'

PA kalau bahasa gaulnya bukankah bego atau tolol? Pendek akal? Nah, orang Tasik tak mau dibilang seperti itu. Kreativitas berjalan di otak mereka dan menggantinya dengan AP. Asia Plaza. Ah, sok Inggris, kalian?!

Analisis saya berjalan menembus ruang dan waktu. Saya menerawang jauh mengaktifkan radar keingintahuan saya. Dan jawabannya ialah:

'Orang Tasik menyebut AP karena mengikuti cara baca Qur'an dari sebelah kanan ke kiri. Plaza Asia jadi AP, kan?'

Tak dapat dihindari jika suasana kebatinan Tasik yang religius membuat seperti itu. Nanti akan ada cerita lagi tentang bagaimana kali pertama saya dan teman teman di AP. Azan Zuhur sudah meraung raung. Cus dulu ke masjid!

Tidak ada komentar