Header Ads

ROAD TO GARUT (3)


Kang Dedi tak pernah bercerita pada saya jika keluarganya punya usaha dodol. Baru saya di Garut, ia mengaku dan mengisahkan sepak terjang bapak dan ibunya merintis usaha dari nol. Jatuh bangun membangun pabrik dodol kedua orang tuanya ia ceritakan fasih. 

'Bentar, bentar. Nggak apa apa saya tahu rahasia keluargamu, Kang?' saya menghentikan laju cerita Kang Dedi. 

Kang Dedi tak mempermasalahkan dan menganggap ini suatu pembelajaran untuk kemajuan bersama. Cerita untuk kenangan dan reviu agar kesalahan tak terulang dan kecemerlangan lebih mengilat di masa mendatang. 

Paling mengejutkan ketika konflik demi konflik mendera keluarganya. Saya mencermati tanpa memberi sanggahan. Kuping saya buka lebar, meski terserang kantuk, saya tetap mempertahankan daya dengar saya. Saya suka mendengar. Tak memberi solusi atas persoalan tak saya pusingkan. Penting saya mendengar. Dan Kang Dedi bercas cis cus dengan sesekali saya menimpali 'terus?' agar ia terus melanjutkan ceritanya. Itu salah satu trik saya menggali pengalaman dirinya dan keluarganya. Juga menanti eksekusi permasalahan. Solusi ia temukan dan ungkap pada saya. 

***

'Besok saya boleh ke pabrik dodol?' pinta saya. 

Kang Dedi tak keberatan. Dalam kantuk yang luar biasa bersama hawa dingin yang menusuk nusuk tulang, saya tak mampu lagi melanjutkan sesi dengar pengalaman. Saya mengode jika saya beser dan berkali kali ke kamar kecil. Berhasil, Kang Dedi menahan kisahnya dan menyimpannya untuk besok.
Senin pagi yang mendung. Gunung Cikuray tampak menjulang dengan awan menempel banyak di tubuhnya. Semilir angin menerpa wajah saya. Kang Dedi menawari saya susu atau teh. Namun saya memilih air putih saja karena tak enak merepotkan. Padahal meminta air putih termasuk kerepotan bukan? 

'Jadi ke pabrik?' tanya Kang Dedi. 

'Tentu, dong.' jawab saya mantap.

*** 

Pabrik dodol garut Hamidah namanya. Inilah peninggalan ayahnya yang Kang Dedi sebut galak namun mampu menggerakkan karyawannya untuk loyal dan rajin bekerja. Saya langsung disuguhi pemandangan tiga orang bapak mengaduk adonan dodol di wajan besar di atas bara api. Tak lupa saya meminta izin saat memotret. 

Lebih dalam lagi, saya mendapati dua grup ibu ibu yang sibuk mengemas dodol. Ruang sebelahnya ada bos besar, kakak Kang Dedi, dan karyawanya memasukkan dodol ke kardus kardus. Saya menghampiri kumpulan ibu langsung melancarkan pendekatan 'saya baru belajar bahasa Sunda'. Strategi ini ampuh dan mencairkan suasana.

Saya belajar kilat mengemas dodol. Kata mereka, saya cepat bisa. Oh, tentu karena berkat jampi jampi yang saya bawa dari Jogja hingga bisa mencerna cepat segala sesuatu. Tak lupa saya lempar guyonan biar mereka tak tegang pada saya. Sukses! 

Hari yang mengasyikkan. Kini saya tak cuma bisa makan dodol garut, tetapi tahu proses produksinya. Hatur nuhun, Kang Dedi. Terima kasih sudah memperluas cakrawala saya.

Tidak ada komentar