Header Ads

WATER SONG

Gemuruh air dini hari kemarin menghanyutkan pamanku. Ia menghilang diseret bah yang tiba tiba di kampungnya di Jakarta. Ayah, ibu, dan saudara saudaraku memberi kabar menyesakkan itu saat aku senang oleh kado ulangtahunku dari pamanku. Jatuh diriku di sofa, menundukkan muka, berharap Tuhan mengembalikan paman yang kusayangi. Ia yang merawat masa kecilku saat ayah ibu jauh di negeri seberang mencari pangan untukku dan saudaraku.

Masih kuingat kala paman mengajakku ke kali, memainkan kaki kami, memijak air sembari bercanda berkata jika air ialah sahabat yang tak mengenal warna kulit. Ia tak pernah mengharap kembali dalam tugasnya menyiram dan menjatuhkan noda noda dari tubuh manusia.

Paman juga menjelaskan jika siklus air adalah jalinan kata yang membentuk kalimat indah. Berasal ia dari samudera bergaram yang menaikkan air untuk sang bayu mendorongnya jatuh ke gunung. Aku ternganga oleh perkataan paman yang menenangkanku. Ia seorang yang pandai berkisah, terkadang mengesalkan, lucu, tak jarang membuatku bertanya tanya dari mana dan bagaimana bisa paman lancar bercerita. Di otaknya pasti ada seorang kurcaci yang membacakan buku buku mengasyikkan.

Paman, kembalilah kepadaku, kita bermain lagi. Kujenguk kau di Jakarta, kuketuk pintu rumahmu, kuajak dirimu ke telaga mencicipi apakah rasa airnya berubah oleh tahi tahi burung yang mengotorinya. Paman, tunjukkan mukamu segera, obati hatiku yang sakit oleh kabar hilangnya dirimu.

Tidak ada komentar