Header Ads

WAJAH WAJAH MASKER

Ririn mengabari saya jika ia baru saja keluar dari salon top di Jogja. Katanya, ia mengambil paket perawatan murah meriah berisi krimbat, wax bulu kaki dan ketiak, plus masker wajah. Dua ratus ribu saja, Ririn bilang.

'Perempuan ya begini, Dan!' ucap Ririn bersemangat sembari mengibaskan rambut dan pinggulnya secara simultan. Oleh angin yang semeribit, semerbak wangi rambut Ririn mengembus hidung saya.

Saya sedang membaca koran yang memberitakan seorang koruptor China yang siap digantung di lapangan dengan warga menyoraki mereka. Ririn menyuguhkan secangkir kopi Aceh favorit saya. Ririn penjual angkringan. Ia berusia lima puluh tahun namun penampilan tubuhnya masih terjaga secara ketat. Menarik punya.

'Masker apa yang kamu pakai, Jeng?' tanya saya sembari membalik koran dan menemui kisah seorang ibu yang menulis di kolom pembaca memprotes acara Yuk Keep Smile.

"Salam Perubahan. Saya sebagai ibu keberatan dengan acara goyang tidak jelas itu. Yuk Keep Smile. Merusak, tidak mendidik. Acara sinetron kegemaran saya jadi terganggu."

Saya tersenyum senyum dan mendongak oleh jawaban Ririn yang mengatakan ia memilih masker alpukat.

'Alpukat lengket lengket enak. Suami saya yang bikin saya kedanan lengketnya alpukat.' jawab Ririn langsung masuk ke dapur menyiapkan nasi goreng pesanan pengunjung lain.

***

Tapi pikiran saya bukan ke masker wajah. Masker penutup mulut warna hijau yang akhir akhir ini sering saya jumpai di jalanan Jogja.

Saya menyangka setiap pengendara motor yang memakai masker mulut mereka tidak bisa menghilangkan trauma mendalam atas letusan Gunung Merapi tempo lalu dengan debu vulkaniknya yang luar biasa.

'Bukan karena itu, Dan!' kata Luthfi, teman saya mahasiswa Filsafat. Saya kaget tidak biasanya ia mau membahas hal remeh kaya masker. Luthfi yang saya kenal seringnya membahas makna kehidupan dan spesialnya kematian.

Lanjut Luthfi, 'Orang yang memakai masker ada dua hal positip dan negatip. Barangkali dia memakai agar debu tidak masuk ke saluran napasnya. Itu positipnya.'

'Negatipnya?' tanya saya.

'Sebagai ajang menyembunyikan giginya yang tonggos, tindik lidahnya. Atau, dia giginya emas semua biar copet tidak tahu.'

Saya waktu itu mengangguk nganggukkan kepala atas pendapat Luthfi.

'Korupsi nggak usah dipikirin, Mas Danie!' Suara Ririn memecah lamunan saya. 'Korannya cepat ya. Yang lain nungguin!'

Pun saya memesan mi goreng mengalihkan kemarahan Ririn agar jatah baca koran saya masih berlaku.


Mari merapat di www.rumahdanie.blogspot.com

Tidak ada komentar