Header Ads

SUZANA Vs. MEGAWATI: Siapa Diva yang Sebenarnya?



Momen Lebaran yang paling saya tunggu bertemu dengan sepupu saya: Lasmini. Ia sebaya dengan saya, bersuami seorang bankir, punya anak lima. Jangan ditanya penampilannya, uh .... Nunung Srimulat? Lewat! Lasmini lebih menor, bicara ngalor ngidul tak jelas, dan tawanya meledak sampai telinga orang orang di dekatnya berdenging.
Dulu kami sebangku sekolah. SD, SMP, SMA, tak mau kami berpisah. Bagaimana caranya harus menyatu. Itu menyebabkan ayah kami, mereka kakak adik, harus melobi pihak sekolah. Ya ... kata mereka sogok sedikit uang tak masalah.

Saya tahu kebiasaan Lasmini. Kalau pelajaran Sejarah ia tertidur. Kata dia, selain gurunya tak menarik dalam menjelaskan materi, Lasmini bilang begini:

'Sejarah hanya berguna buat mereka yang malas berhitung. Parahnya, ia mengajari orang meratapi masa lalu. Mending belajar primbon atau ilmu perbintangan. Masa depan!' terangnya waktu kelas 9 atau 3 SMP.

Memang Lasmini jago matematika, fisika, juga seni teater. Lasmini saya kenal pemerhati dunia peran. Mau tahu apa dalam pikirannya? Usai acara Syawalan tadi, saya merekam beberapa.

***

'Danie, gimana cewekmu?' tanya Lasmini.

'Sehat. Montok. Bersinar wajahnya sering perawatan.' Jawab saya.

Mimik Lasmini berubah cemberut. Tampak bulu matanya goyah akibat saya memancing perbandingan kecantikan antar wanita. Baik, saya ubah haluan tentang kegemaran kami yang sama: film dan politik.

Kami bersepakat sejak dulu jika dua hal itu berhubungan. Politik moncer jika didukung film yang bermartabat. Oleh beberapa elit disebut propaganda sinema. Sementara film bisa maju kalau politikus mendukung keberadaannya. Tak bisa dipungkiri, politikus punya peran penting membuat film bertaji lewat pendanaan dan atensi lain.

'Danie, aku dapat puzzle terbaru!' Kalau Lasmini sudah berkata "puzzle" artinya ada suatu obrolan unik.

'Apa?' tanya saya.

Lasmini mengeluarkan kertas dari BHnya. Saya berpikir ia habis jadi ronggeng. Pun jika benar, saya malah mendukungnya. Lumayan menambah pemasukan.

'Ini foto Suzana. Ini Bu Mega. Siapa diva yang sesungguhnya?' Lasmini membuka dua kertas.

Mendiang Ratu Horor sama Ibu Presiden. Lasmini kelewatan membandingkan keduanya. Kalau salah satunya tahu, bisa berabe.

Lasmini memasukkan jempol ke lubang hidungnya, mengorek ngorek, dan berkata 'nikmat ....'

'Kenapa dengan mereka, Ni?' tanya saya.

'Keduanya hebat!' jawabnya. 'Masing masing berprestasi di bidangnya. Suzana mengangkat derajat horor ke level tertinggi. Bu Mega begitu juga.'

'Dia gantiin Suzana? Jadi sundel bolong berkendara banteng moncong putih berbusa?'

'Bukan! Bu Mega sosok ibu yang tak tergantikan. Wanita tegar yang mampu menyusui kader kadernya secara adil?'

'Menyusui?'

'Ah, maksudku membina. Parno otakmu, Dan!'

Dan obrolan kami tertunda saat sesi dansa segera dimulai. Kami pun lebur merayakan Lebaran.

~~~~
Follow my twitter @AndhyRomdani
Please come to my home: www.rumahdanie.blogspot.com

Tidak ada komentar