Header Ads

Mengobrol dengan Tembok Stasiun KAI




Sore ini saya dan bapak akur. Biasanya, kami saling berselisih banyak hal. Mulai menu makanan, cara berpakaian yang bagus, tak jarang kami berjibaku mempertahankan keyakinan kami masing masing. Kami sama sama Muslim, tapi punya sudut pandang berbeda.

Pernah suatu hari saya menyentak bapak dengan ucapan kasar. Saya menyadarinya sekarang setelah bapak saya cermati makin tua. Waktu itu, saat saya mudik Lebaran, saya kuliah semester awal dan giat mengaji pada seorang ustaz di Jogja, tahu bapak membeli menyan, saya marah besar.

'Saya tidak sudi punya bapak pemuja SETAN?!' bentak saya. Saya masih mengingatnya dan minta ampun karenanya.

Bapak diam tak memberikan perlawanan pada saya. Sepertinya ia sadar jika saya masih dalam masa tumbuh dan belum menemukan pegangan yang cocok. Saya menyesal telah mengucapkan itu dan tak menyelidiki kenapa bapak beli menyan; apakah untuk memuja hal gaib, atau barangkali sekadar beli untuk mengusir tikus. Tidak sampai saya memburu alasan bapak. Adanya saya marah.

Di depan rumah kami, di dekat stasiun kereta ini, kami berbincang setelah pagi sebelumnya saya mencium kakinya memohon ampun: tak begitu memedulikan dia beralasan sibuk kerja laiknya robot.

***

Bapak saya mengisap kretek dalam dalam. Sudahlah saya tak harus mengingatkannya bahaya merokok. Ia memegang tangan saya yang saya rasai hangat menuju batin saya.

'Danie,' ia memulai perbincangan menghadap tembok tinggi yang melingkari stasiun kereta. 'Bapak sudah tak sanggup lagi melakukan perlawanan ke kepala stasiun. Maafkan, Bapak ....'

Bapak terisak dan menceritakan andai saja tembok ini tidak ada, tentu warga stasiun yang bekerja sebagai pengasong masih bisa mencari rezeki. Tak pula ada aksi anarkis melempar batu yang mengakibatkan kepala penumpang dan masinisinya bocor. Bapak betul betul memohon ampun pada saya.
Saya tak mampu berkata. Bapak telah beraksi. Bukan untuk dirinya saja, bahkan buat orang lain agar bisa makan. Sedangkan saya? Egois dengan alasan sibuk bekerja. Memalukan.

Tembok di depan saya tinggi ditambah seng yang makin menjauhkan saya dengan stasiun yang telah membesarkan saya sampai jadi seorang master. Ia memberi lahan bapak dan ibu mencari uang. Saya amati bapak terpukul dengan kondisi ini.

'Bapak, seharusnya saya yang minta maaf. Saya tidak berbuat.' ucap saya.

Bapak berdiri dan menepuk pundak saya. Ia tersenyum dan berkata:

'Bicaralah kau dengan tembok, Anakku. Obrolkan dengannya bagaimana memecahkan kasus ini. Tak ada gunanya lagi ke atasan, berbincang dengan para pedagang teman kita juga membuat hati kita nelangsa.'

Bapak berlalu meninggalkan kelut di benak saya. Untuk saya hempaskan ke tembok stasiun!

Tidak ada komentar