Header Ads

Capoeirista Purwodadi & Tragedi 111 Piring Nasi



'Danie, di manapun kau berada, carilah capoeiristanya. Mereka saudaramu, berjogolah, dan berbagi keceriaan bersama mereka!'

Pesan pelatih saya masih menempel di otak saya. Petuah yang baik dan patut dilaksanakan. Pelatih saya selalu mengatakan jika capoeira olahraga juga seni unik yang menembus sekat rasial. Grupo hanyalah tempelan yang hilang saat kita berjogo~berduel secara sehat.
Syukur pada Allah yang mengenalkan capoeira pada saya. Ia mewakili jiwa yang jempalitan, setidaknya meredam untuk menatanya biar lebih kompak. Dengan capoeira lah mimpi saya 'Berkeliling Nusantara' perlahan saya rengkuh; Bali, Jakarta, Solo, Ungaran, Semarang. Tak sekadar jalan jalan. Saya meraup ilmu banyak~teknik, keberanian, dan persahabatan khas capoeira.

***

Dan hari tadi tantangan sebenarnya. Saya pulang kampung alias mudik ke Purwodadi! Jika sebelumnya, di kota kota besar, saya bertemu para monster capoeira yang mumpuni dan berhasrat bikin rahang mereka bergesar, tidak dengan kota asal saya. Relaks.

'Bro, jadi kumpul?' tanya saya pada Dista yang berjuluk Celeng karena tingkahnya yang hiperaktif nyeruduk nyeruduk serasa tak punya leher.

'Jadi, Kaka Danie.' jawabnya. 'Kumpul nanti jam setengah lima, buka bareng, lalu kita jogo.'

'SIAP!'

Kami sudah saling kenal di Semarang. Inilah capoeira, meski baru sekali bertemu, kami jadi saudara.

'Di Bale Dhahar, Ka. Nanti ada Eiga, Pratama, sama lain lain. Juga capoeirawati.' tambah Dista. Mereka juga telah saya kenal.

***

Sebelum setengah lima, saya meluncur pakai motor bapa saya yang walau tua tapi tetap yahud. Di jalan, saya teringat kerjaan kantor saya. BRENGSEK, liburan kok mikir gawe. Saya kesiapkan segera dan tidak sampai seperempat jam saya sampai TKP.

Mantap masuk resto, tapi kok belum ada Dista dan kawan kawan, ya? Saya duduk dan pelayan menyodorkan daftar menu.

'Sebentar, Mbak. Saya menunggu teman.' ucap saya. Si mbak pelayan mempersilakan saya menulis pesan lantas berlalu.

Tik, tok, tik, tok ....

Jam terus berderap. Saya bolak balik menu, mencermatinya, dan memencet SMS ke Dista.

'Salah, Ka Danie! Itu Pondok Dhahar! Bale ....' seru Dista.

'Gundul pecengis, genderuwo, sundel bolong?! Sama sama Dhahar.' teriak saya juga lewat SMS. Dhahar ialah makan dalam bahasa Jawa halus.

'Ka Danie tunggu saja! Aku jemput.' Dista mengirim pesat.
Saya melipir menyembunyikan muka menuju tempat parkir. Aneka kutukan meletup. Salah saya sendiri sih ....

***

Jalan Hayam Wuruk tempat Bale Dhahar. Hmmm, lumayan dengan desain perbambuan. Sepertinya baru buka. Parkirnya luas bisa buat lomba tarik tambang atau pentas penari ular sanca. Asap mengepul dari wajan dapur resto.

Batin saya, "Enak nih!"

Duduk di bilik yang oleh pengelola resto diberi macam nama klab bola; Manchaster United yang kami tempati. Anjing, kutuk saya. MU menurut saya tim berasal dari kerak neraka. Hati saya Persib. Berhubung bilik lain terisi, saya tahan emosi.

'Alex Ferguson, guwe izin duduk!' Saya menjejak lantai tiga kali, tanpa napas. Ini ritual khusus biar aura MU tak ada dalam diri saya. Secuilpun nehi!

***

Kami gelisah. Minuman dan makanan lama sekali hadir. Padahal kami sudah berkali kali tanya. Tiga orang dari kami. Awalnya kami memaklumi mungkin karena antre. Kedua mungkin si koki shalat Magrib. Ketiga apa lagi. Tapi semua ambyar waktu sang pelayan jelek, lelaki, di gambar tertampil cewek maka kami mohon ampun, si waiter datang pada kami pada menit ke 45.

'Mas, semua ini jadi?' Si pelayan itu bertanya sambil menunjuk kertas pesanan kami.

Kami membelalakkan mata, saling menatap tak percaya. Helo, kami sudah menunggu lama dan cukup bersabar. Kami la, par, ja, ya!

'Jadi!' Seru Eiga.

Tampang mas pelayan memang nggak jelas. Wajah kusut, tonggos aka gigi maju, dan yang paling mengerikan model rambutnya menampilkan kliwiran tak jelas. Model jembut nanti kami kasih sebutan. Asu banget dia!

'Nasgor dua, sop ayam dua, cap cay dua, nasi ....' Ia membacakan pesanan kami. Kami makin kesal. 'Nasi putih seratus sebelas.'

Hah?! Apa dia bilang? 111 piring nasi? Dengan kami yang cuma selusin? Kami menjelaskan jika itu angka romawi III dari 3. Tapi dia ngeyel:

'Wah nggak bisa! Anda nulis 111. Seratus sebelas.' Lanjutnya.

Gusti ... Kami berhadapan dengan siluman. Lama, salah, ngeyel. Beberapa dari kami usul pindah tapi saya menenangkan dengan menengahi si pelayan jembut dan teman teman.

Si jembut kembali ke dapur untuk sepuluh menit balik bawa menu pesanan. Mimik tak bersalah bersamanya juga.
Mangkel benar kami. Selama makan kami terpingkal sampai perut kencang. Ya, membahas si Pelayan Jembut.

Tidak ada komentar