Header Ads

Haji Otong sang Kaisar Beras & MESIN KETIK "Brother"


Sampai di rumah saya di Purwodadi, salim bapa dan ibu, saya melesat ke rumah Haji Otong. Kabarnya, dia sakit keras. Diabetes dengan kaki kanannya siap diamputasi karena luka sayat yang membusuk. Saya sedih bukan kepalang dalam perjalanan menuju rumah Haji Otong. Selalu waktu kecil saya bertandang ke sana lepas sekolah. Anak Haji Otong sahabat saya: Karim, namun ia meninggal konon disantet musuh ayahnya.

'Kayanya ... ini kembali terjadi!'

Saya menebak nebak dalam kemudi motor saya jika Haji Otong juga kena santet. Sama dengan anaknya. Kopling di tangan kiriku bermasalah hingga laju motor saya tak lancar~ndut, ndut, begitu. Bagaimana tidak orang iri pada Haji Otong, kekayaannya berlebih. Usahanya di mana mana. Jelas ia terus diusik musuh musuhnya, batin saya lagi.

***

Rumah bercat hijau, berpagar tinggi yang sering saya kunjungi semasa kecil sudah di hadapan saya. Darah saya seakan membeku. Air mata sudah di pelupuk membayangkan Haji Otong terbujur, wajahnya kesakitan, dan kakinya buntung. Saya tak tega. Dia yang sudah saya anggap ayah kandung, menyekolahkan saya sampai S2, tak kuat hati saya mendapatinya kesakitan. Pun saya harus tegar melangkah maju masuk rumah.

Benar! Haji Otong terbaring d ranjang. Di sampingnya, istrinya ialah juga ibu saya. Langsung saya ke Hajah Otong mencium punggung tangannya dan bertanya kondisi Haji Otong.

'Ayahmu, Nak Danie ....' Hajah Otong memeluk saya. Ia menangis keras. Haji Otong tidur dan kulihat kakinya buntung.

'Maafkan saya baru tahu, Ibu.' Sesal saya.

Campur aduk pikiran saya. Kenangan bersama Haji Otong muncul. Terutama saat mendekati Lebaran, ia dulu sangat sibuk. Sebagai Kaisar Beras, begitu ia disebut, berkuintal kuintal ia bagi bagikan pada warga.

'Niatku bukan pamer, Danie.' ucap Haji Otong waktu itu. Saya kelas 6 SD. 'Kuberikan beras ke mereka dengan aku menganggap mereka burung dara.'

'Burung dara, Yah?' tanya saya.

Haji Otong mengelus rambut saya. Ia mengulas senyum khasnya, matanya memancar dan saya tangkap seolah ia sedang berbincang dengan Karim.

'Penerima beras ini,' ia mengambil setangkup beras dan menciumnya. 'Adalah dara yang setelah kenyang akan terbang tinggi. Bebas di angkasa.'

'Artinya ayah memancing warga saja?' tanya saya.

'Kesadaran warga. Mereka yang sudah mampu tak patut lagi dapat beras ini.'

Saya rindu mengobrol dengan Haji Otong. Juga saat kami makan sate kelinci. Itu pertama kali saya tega makan binatang imut itu. Ayah Otong mengajari banyak hal.

Lalu di mana orang orang yang dulu menerima zakat Haji Otong? Lupakah mereka jika pernah antre mendapat sekadar dua liter setengah beras? Mungkinkah mereka termakan isu dari si penyantet?

'Danie ....'

Suara itu. Haji Otong membuka matanya. Tangannya berusaha menggayuh saya. Saya bahagia melihat ayah saya sadar.

'Dari mana saja?' tanyanya. 'Sudah lama kau kutunggu! Mesin tikmu masih?'

Serasa disambar petir. Haji Otong selalu mengingatkan mesin ketik merek Brother yang ia hibahkan pada saya. Ia tahu saya suka menulis.

'Sudah rusak?' tanyanya lagi. Saya kelimpungan.

'Ma ....'

Ia tahu saya hendak berdusta. Segeralah ia berkata jika ia sejatinya ingin bertanya perkembangan tulisan saya. Paham sekali Haji Otong jika zaman sudah melesat cepat. Laptop, tab merajai dunia.

'Pesanku, tekunlah menulis. Itu jiwamu.' katanya teduh. Saya pun mencium tangannya.

_____

Follow my twitter @AndhyRomdani
Please come to my home: www.rumahdanie.blogspot.com

Tidak ada komentar