Header Ads

Redupnya Pesona Ratu Gudeg?


'Yu Djum meninggal tahun berapa, Bu?' tanyaku pada seorang ibu tukang masak di dapur Warung Gudeg Yu Djum.

'Taksih gesang, Den Mas. Masih hidup, Mas.' jawabnya.

Seperti disambar petir, aku malu tak ketulungan. Dan si ibu tadi menunjuk seorang nenek yang duduk di pojok dan sibuk dengan mengelap daun pisang. Aku berkali kali memohon maaf atas kesalahan yang telah kubuat. Mudah ditebak, sesuai dengan karakter orang Jogja, si ibu memaklumi alpanya perkataanku.

Aku melihat manusia tua itu. Dalam batinku, kenapa sangat beda dengan foto dirinya yang menempel di ruang makan yang sangat cantik dalam kebayanya? Mbah Djum yang hadir di dekatku itu kurus kering dengan rambutnya putih nyaris botak. Lalu aku berpikir jika waktu telah memudarkan pesonanya sebagai Ratu Gudeg. Mengapa aku sebut Mbah Djum "ratu"? Ada hal menarik yang akan kuceritakan.

'Saya ke tempat Mbah Djum ya, Bu.' pamitku pada ibu tukang masak yang langsung mempersilakanku dengan senyum hangatnya.

Tak ada rahasia di dapur Mbah Djum. Mulai dari pembuatan gudeg, areh, telur, ayam, apa saja, semua beritanya disajikan tanpa harus ditutup tutupi oleh para tukang masak. Mereka sepertinya tahu jika promosi dari mulut ke mulut lebih mustajab ketimbang harus seperti merengek rengek di koran atau televisi.

'Nuwun sewu, Mbah Djum.' kuuluk salam pada Mbah Djum. Dan ia menjawab sangat hangat. 'Saya Danie, Mbah.'

'Mangga, Nak Danie. Silakan.' jawabnya.

Kulitnya sungguh banyak kerut. Kucuri curi pandang, giginya masih utuh. Bayanganku, Mbah Djum rajin menginang dari kecil hingga sampai tua masih kuat. Sekilat hatiku runtuh saat dekat dengan Mbah Djum yang tersohor gudegnya ini. Sayatan di hatiku yang belum kering oleh kepergian nenekku tanpa aku menemui jenazahnya kini terasa sekali. Perih.

'Sehat, Mbah?' tanyaku.

'Pangestune, Nak Danie.' jawabnya.

Obrolan kami pun berlangsung. Entah kenapa saat Mbah Djum meluncurkan kata demi kata, antara batin dan otakku melesat lesat ke masa lalu. Mbah Djum yang sekarang berusia lebih dari 80 tahun menceritakan awal mula ia menjual gudeg.

'Saya jualan di Wijilan jalan kaki. Masak di sini.' kata Mbah Djum.

Mulutku menganga lebar. Serius, jarak Jalan Kaliurang tempat warung ini dengan Wijilan dekat Keraton menurutku jauh. Imajiku mengatakan sosok di hadapanku benar tangguh dan pantang menyerah. Sama dengan nenekku pastinya.

Kutelusuri terus masa remaja Mbah Djum lalui dengan kerja keras. Kata ikhlas terus terusan muncul dari bibirnya yang masih menyisakan kecantikan masa lampaunya. Semakin terisap saja diriku oleh ceritanya yang gegap gempita mengawali bisnis gudeg yang baru beberapa gelintir orang melakukannya.

'Dulu daerah sini masih hutan, Nak.' tambahnya.

Menarik untuk kalimat ini. Kalau zaman sekarang, perempuan seperti Mbah Djum jualan dari rumah Jalan Kaliurang pagi dan pulang malam hari bisa bisa laki laki iseng menubruknya. Mbah Djum beruntung dilahirkan pada masa yang orang orang tidak punya waktu berpikir buruk.

'Sing penting semangat, Nak Danie.' Mbah Djum menasihatiku ketika aku menjelaskan kedatangan di dapur ini untuk menyusun bisnis dengan sahabatku yang sibuk memotret motret di sisi dapur lain.

Aku mengangguk dan perbincangan cukup karena perjalanan 1 Januari 2013 ku bersama teman teman memburu keunikan Jogja menunggu. Kuulurkan tangan, Mbah Djum menyalamiku dan menyalurkan semangat yang kurasai sangat bermakna.

'Matur nuwun, Mbah. Semoga Mbah Djum sehat selalu.' ucapku. Terus batinku menambahi, 'Matur nuwun atas pelajaran ketangguhan darimu, Mbah. Tentu gudegmu yang lezat.'

'Sami sami, Nak Danie.' balasnya.


__________________
Mengobrol teduhlah kita di www.rumahdanie.blogspot.com
Sumber gambar: Hendricus Widi



Tidak ada komentar