Header Ads

Selembar Lima Puluh Ribu dan Kekasihku


Kubuka dompetku, hatiku kopyor melihat hanya satu lembar uang lima puluh ribu. Aku tak ingin menyalahkan tanggal tua di Oktober ini yang awan menggumpal hitam menjelma hujan. Kekuatiranku satu: saat aku maju ke kasir untuk membayar makananku bersama kekasihku, uangku tak cukup. Kutahan kecamuk dan kupaksa hatiku untuk menanggung risiko memesan makanan yang sangat banyak.

'Semua empat puluh sembilan ribu sembilan ratus rupiah, Pak.' ucap mbak Kasir yang manis memamerkan giginya yang berbehel warna merah. Kutengok kekasihku yang meneguk jusnya sampai habis. Kulemparkan senyum padanya.

Uang lima puluh ribu beralih ke tangan mbak kasir. Dan ia pun berkata, 'Pak, tidak ada kembalian seratus rupiah. Kami ganti permen boleh?'

Tak ingin kuberlama lama, kuterima tawaran mbak kasir, dan kembali ke kursi memberitahu pada kekasihku juga pembayaran sudah rampung.

'Kita ke mana lagi, Yang?' tanyanya padaku.
'Enaknya ke mana?' kuperiksa jam tanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dan gerimis sedikit mengganggu untuk mengajak ia pulang.
'Gerimis, Say!' ucapku.
'Tidak apa apa. Kita tembus saja. Bersamamu, aku tak takut badai sekalipun, Yang.' ia berkata.


Di parkir, aku kaget bukan kepalang teringat kalau uangku sudah habis. Kurogoh rogoh saku celana tak ada sekadar uang yang mungkin saja ada di situ. Kepanikan menyerangku tak ingin kekasihku tahu aku sedang bokek saat ini.

'Nggak ada uang seribu, Yang?' tanya kekasihku tanggap.
Aku mengangguk pelan dan ia mengulurkan selembar uang seribu padaku dan kuteruskan pada pak parkir.
'Terima kasih, Say.' luncurku pada kekasihku.
'Sama sama, Yang.'

***

Malioboro dan sekitarnya sudah kami lahap sampai jam 12 malam. Kuantar kekasihku sampai rumah dan ia melambaikan tangan perpisahan yang sorot matanya menawarkan esok hari kita bertemu lagi. Kupacu motor Chinaku sampai rumah kulemparkan badan ke kasur tipisku.

'Malam yang berat!' keluhku. 'Gajian masih dua hari. Argggh ... sudah lupakan!'

Tubuhku melemah, alam mimpi sudah menarikku untuk bermain main. Jatuh tertidurlah diriku.

Gelap, dingin, dan badanku seperti melayang. Kuyakin ini di dimensi tidurku. Ya, aku ada di alam mimpi yang kata orang orang sangat misterius. Sekarang aku sendiri tak ada kekasihku yang menemani. Ia pasti sudah tertidur sambil memeluk boneka beruangnya.

HIK, HIK, HIK

Suara tangisan siapakah itu? Kusorongkan telingaku mencari cari sumber suara di tempat gelap ini. Semakin keras dan terdengar di akhir tangisannya ia tercekat. Siapa DIA?! Gerutuku kesal belum berhasil menemukannya. Kuberjalan terus, kali ini lebih tenang, menuju sumber suara itu. Ya benar, semakin jelas suara itu. Ia sudah ada di dekatku!

Kakiku menendang sesuatu yang empuk.

'Siapa kau menabrakku!' teriak suara seorang bapak.
'Saya Danie, Pak!' jawabku.
'Aku kenal kau? Danie siapa, ya?'
'Belum, Pak. Danie saja, Pak.'

Dua telapak tangan mengusap mukaku. Sepertinya ia berdiri dan meraih wajahku untuk ia raba dan kenali.

'Ya, Danie Jogja. Apa kabar?' tanyanya.
'Bapak siapa?' tanyaku belum sempat menjawabnya. 'Kok menangis?'
'Aku Ngurah Rai. Aku menangis? Ah, tidak ... tidak kok!'
'Ngurah Rai siapa?'

Ia dalam gelap ini mengaku sebagai I Gusti Ngurah Rai yang fotonya ditampilkan di uang lima puluh ribu rupiah. Uang yang kubayarkan di restoran beberapa jam lalu. Aku jelas tak percaya karena Ngurah Rai sudah meninggal entah saat perang  atau terserang sakit. Kutahu dia pahlawan asal Bali yang berbeda masa denganku.

'Kalau kau tak percaya, ayo kita cari jalan terang. Kugandeng kamu.' ucap lelaki yang mengaku sebagai I Gusti Ngurah Rai.

Kurasakan tangannya lembut menuntun jalanku. Ia terus terusan mengisahkan perjuangannya bersama warga Bali merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semangatnya luar biasa membuatku tersihir dan membayangkan betapa dulu semua orang tak ada waktu untuk sekadar mengeluh. Kucibir diriku sendiri.

Sebuah titik terang kami tuju, semakin lama jalan kami makin cepat dan mataku silau hingga aku jatuh tersungkur.

'Kita sudah sampai!' teriak lelaki itu.

Kubuka mataku dan ajaib ... Danau Beratan, Bedugul, di hadapanku. Kudongakkan kepalaku, kucermati wajah lelaki itu sama dengan gambar muka uang lima puluh ribu rupiah. Ia I Gusti Ngurah Rai.

Weker menyalak membangunkanku! Jam 6 pagi.

_________________

Sumber gambar: Bank Indonesia
Meribut di www.rumahdanie.blogspot.com





Tidak ada komentar