Header Ads

Api Unggun Kesolidan Capoeira Senzala Jogjakarta



Kami duduk membulat rapat. Api unggun telah kami sulut yang menandai berkobarnya semangat persahabatan di Capoeira Senzala. Kami sekarang satu keluarga. Kita, jika Anda mengikhlaskan hati untuk kami angkat jadi saudara. Bersama pasir putih yang hangat dan angin Pantai Sundak yang basah basah nikmat, kita berikrar untuk terus memupuk solidaritas dan kekompakan.

'Kaya Gunung Merapi, Dan.' ucap lirih sahabat capoeirista di sebelahku. Tukijo namanya. Aku baru mengenal dia karena beda kelas dan di pantai inilah kami dipertemukan.

'Sebentar lagi Mak Lampir hadir di tengah tengah kita.' balasku sambil tertawa.

'Siapa itu Mak Lampir?'

Aku melirik Tukijo dan kuceritakan kalau Nenek Lampir ialah seorang putri keraton yang dikutuk karena suka mengutil celana dalam di mal. Wajahnya yang cantik berubah buruk muka dan ia diasingkan di Gunung Merapi selama lamanya. Kulihat Tukijo berkaca kaca matanya di antara celotehan sang Suhu Capoeira yang berbusa busa menerangkan sejarah capoeira bermula di Jogja.

'Jogja sungguh tepat buat kalian belajar.' sang Suhu berjuluk Kadalo, diambil dari gerakannya yang percis kadal, terus berucap. 'Tidak hanya pelajaran formal, tapi juga seperti capoeira ini!'

Kuperhatikan capoeirista mengepalkan tangan dan dagunya terangkat seolah terbangkitkan rasa kepahlawan. Aku tak kalah soal urusan semangat. Dadaku membusung besar, tentu tanpa jasa suntikan silikon. Tukijo malah diam terpaku.

'Jo, kok kamu malah lesu?' kusikut dia kena dagunya. Capoeirista lain kaget menyangka kami sedang bermasalah namun kugeliatkan badanku memberi sinyal kami berdua baik baik saja.

'Aku teringat emakku di kampung.' kata Tukijo.

'Sudah mahasiswa kamu, Jo!' seruku. 'Pengin menyusu apa?'

Ia berbisik, nyaris moncongnya yang basah menempel di daun telingaku.

'Api unggun itu sama dengan dapur emakku.' katanya.

Kutenangkan hati Tukijo dengan menepuk pahanya dan berjanji selepas acara api unggun untuk memperbincangkan cerita hidup Tukijo.

Api unggun menari nari tinggi dan lincah. Bayanganku merambat ke kisah Nabi Ibrahim yang dihukum oleh Raja Namrud karena berTuhan selain dirinya. Aku tak tertarik dengan perseteruan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud namun berdoa dalam kisruh hatiku:

"Ya Tuhan, semoga api unggun ini sama dengan jiwaku dan teman teman capoeira untuk terus menyala menyemarakkan kehidupan di Bumi ini. Memayu Hayuning Bawana."

***

Tukijo duduk di sampingku. Kami menyimak beberapa capoeirista tengah membakar ikan, daging domba, dan ubi. Bau sedap nan gurih masuk ke hidung kami yang membikin perut kami bergejolak. Kutanyai Tukijo ia berkata belum lapar karena tadi ia mengganyang dua bungkus Indomie goreng ditambah empat butir telur. Batinku, aku sekarang sedang mengobrol dengan badak bercula satu bukan dengan manusia. Memang Tukijo berbadan gempal dan berkulit hitam mengilat.

'Ceritakan kenapa kamu tadi tampak sedih, Jo?' tanyaku.

'Baiklah, Danie.' Tukijo menyedot ingus cairnya. Sepertinya ia masuk angin. Ingin kutawarkan kerok namun kubatalkan karena takut tanpa alasan yang jelas. Takut saja sih ....

'Ayo ungkapkan, Jo. Aku dengar.'

Tukijo bercerita jika ia anak kampung. Ibunya seorang janda tukang cuci keliling. Kalau ada yang memakai jasanya, ia dapat duit. Jika sepi, seringnya Tukijo dan sang ibu puasa. Prihatin hidup mereka berdua sepeninggal sang ayah yang meninggal keseruduk seorang mahasiswa yang naik motor sambil main hape. Tukijo tumbuh sebagai orang yang tahan banting. Namun ibunya tak pengin anak semata wayangnya jadi pegulat profesional.

'Jo Anakku. Emak pengin kamu kuliah tinggi di Jogja.' pesan ibunya.

'Tapi kita tidak punya uang, Mak.' jawab Tukijo saat itu masih kelas satu SMA. 'Sekolah saja kita sering nunggak bayar, Mak.'

'Niat yang penting, Jo. Nekat saja. Emak akan biaya sekuat tenaga. Tapi kau harus berjanji untuk kerja apa yang kau bisa nanti di Jogja buat tambah tambah kuliah.' kata si Mak Tukijo.

Tukijo menatapku seolah meminta izin dariku untuk melanjutkan ceritanya.

'Emang meninggal setahun lalu, Dan. Aku berkewajiban mewujudkan cita cita almarhumah Emak.' kata Tukijo parau padaku.


Aku tersentak mendengar ceritanya. Tukijo kuliah dengan kaki dan tangannya sendiri. Sedangkan aku, setiap minggu dikirimi sejuta rupiah buat seminggu oleh orangtuaku. Jatuh malu oleh kisah Tukijo yang luar biasa ini.

'Janji adalah janji, Dan. Emak di surga akan melihat kesuksesanku. Kegemilangan kita. Sama dengan api unggun capoeira, kita harus terus berkobar. Terima kasih telah jadi keluarga baruku. Capoeira adalah saudaraku.' serunya bersemangat sambil bangkit berdiri. 'Ayo kita gabung sama Adam bule Polandia di sana! Kita bakar sate!'

Tukijo naik melesat sambil mengibaskan celananya yang merontokkan butiran pasir. Aku mengejarnya sambil bergumul dalam hatiku: 'Aku tak boleh cengeng lagi!'







Sumber gambar: Dokumentasi Capoeira Senzala Jogjakarta
Meribut di www.rumahdanie.blogspot.com

Tidak ada komentar