Header Ads

Pollock (Ed Harris, 2000)

Seniman memang ditakdirkan untuk terus mencari jati dirinya. Betapapun keras tantangan yang ada di depannya, niscaya dia tak pernah lembek hati untuk sekadar mengeluh. Alih-alih, dia menciptakan dunianya sendiri dan meresensi permasalahannya dengan berkarya, menciptakan karya seni yang merefleksikan kegundahannya dan menyembulkan solusi. Pemecahan menurut kreasi tangannya.

Sudah banyak contoh orang-orang besar di dunia ini yang berawal dari kekurangan yang dia derita. Albert Einstein, ilmuwan terbesar abad ke-20 dengan teori Relativitas-nya, pada masa kecilnya sering diolok-olok karena sulit mengikuti pelajaran berhitung. Siapa sangka, seorang musisi sekelas Mozart mengalami gangguan pada pendengarannya sewaktu kecil.

Begitu pula Pollock. Pada mulanya dia merupakan seniman yang tidak diperhitungkan di jagad lukis-melukis. Saat Betty, seorang pelukis perempuan, melihat karya-karya Pollock, instingnya mengatakan jika sewaktu-waktu nama Pollock akan menjadi acuan seni lukis dunia. Sungguh benar. Waktu membuktikan jika tekad yang membungkus bakat setelah diolah dengan peluh bercucuran menghasilkan karya spektakuler.

Kerja keras Pollock bukanlah dalam hitungan menit. Gaya melukisnya sesungguhnya dicari dari pengolahan rasa dan jiwa yang tak pernah putus. Hingga dia mendapatkan bentuk melukisnya, dengan metode cipratan yang kanvas kainnya diletakkan di lantai. Sekilas jika belum mengetahui sosok Pollock, orang akan serta-merta mencemooh. Gaya melukis seperti apa dia? Ada pula yang mengatakan, lukisan Pollock hanyalah sebuah kumpulan rambut keriting yang berantakan. Dan, seni adalah seni, yang tidak bisa dinikmati hanya dalam hitungan detik. Seni selayaknya dinikmati dari citra yang ditangkap melalui mata, diresapkan oleh darah yang mengalir ke seluruh tubuh, dan didentumkan ke dalam hati. Sampai jiwa kita melunak menjadi sebuah ketulusan dalam menikmati hidup ini.

Berada di puncak ketenaran bukanlah perkara yang mudah. Seorang seniman jika tidak memiliki keteguhan hati untuk menjaga idealismenya, akan terjerumus ke dalam tempat gelap. Minuman beralkohol, candu narkoba, pelampiasan berahi, bisa menjadi ladang untuk mengalihkan rasa penat bagi mereka. Pollock pun demikian. Kebiasaannya menenggak minuman keras, ditambah dengan rasa enggan istrinya untuk mempunyai anak, membuat Pollock frustasi. Karir melukisnya yang melejit, diuji oleh berbagai permasalahan rumah tangga dan kebiasaan buruknya.

Film ini sesungguhnya bisa menjadi acuan bagi siapa saja yang berobsesi menjadi bintang besar. Biografi Pollock yang berdurasi kurang lebih dua jam ini, menyajikan potret bagaimana pelukis besar meretas hidupnya, dari awal karir hingga posisi puncak. Ed Harris yang memerankan Pollock cukup lumayan untuk mengidupkan karakter asli. Namun patut disayangkan, kejutan-kejutan yang dia berikan relatif datar. Atau dimungkinkan karakter asli Pollock yang cenderung tertutup?

Satu yang menjadi gangguan dalam film ini di antaranya pergantian adegan yang cenderung kurang mulus. Belum tuntas penonton mencermati, emosi yang menaik, sudah langsung dipotong oleh sang sutradara.

Bintang-bintang besar lain, seperti Val Kilmer, Jennifer Connely, juga seakan menjadi pameo yang tidak penting dan tidak kuat. Andai mereka dimainkan secara maksimal, dijamin film akan lebih bernyawa dan tidak menjadi biografi belaka.

Film yang menjadi semacam uang saku bagi para pemimpi besar.
Cukup dua bintang untuk film ini!

Tidak ada komentar