Menistakan Tukang Pos dan Abu Nawas dengan Indah
'Kalau orang bodoh jadi bos, nggak lebih seperti tukang pos dan abunawas!' sengat temanku.
Darahku mendidih membaca tulisan itu. Tapi langsung kuredam dengan Jurus Kodok Sabar Menanti Hujan. Hatiku kembali tertata membayangkan ia yang berucap tadi memang berkarakter kuat kasar.
Aku tak menyalahkan temanku itu. Hak mutlak dirinya berkicau apapun,
sepuas ia mampu membelah langit. Ada pelajaran tersirat atas kalimat
itu. Sebelumnya aku tak bermasuk jadi jagoan bangun kesiangan dan lari
ke halaman rumah bercawat untuk menerima teput tangan dan kaki. Tidak.
'Ya, itu artinya temanmu pakai taktik terbalik.' kata sobatku seorang psikiater. 'Lewat Facebook kan?'
'Benar.' Jawabku. 'Maksud taktik terbalik apa?'
Sobatku mendesah tanpa maksud negatip. Ia menertawakanku yang dikatanya terlalu lugu.
'Disadari atau tidak, media sosial FB taruhlah adalah ajang paling efektif buat pamer. Kalau temanmu mengumpat ke musuhnya, dia menunjukkan kekuatannya. Tidak seperti yang dia sebut. "Bodoh" berarti dia bilang aku hebat dari kau.'
Sobatku menunjuk diriku. Penjelasannya cukup bernalar.
'Yang menggangguku, kenapa di frasa kedua dia pakai "tukang pos dan Abu Nawas?" seolah dua orang itu bego.' kataku ketus.
'Coba kau jelaskan!' Suruh sobatku.
'Tukang pos dia anggap pekerjaan hina. Padahal, kita bisa pakai hape buat SMS sampai sekarang tablet, dulu kita utang budi sama tukang pos. Lalu, Abu Nawas. Kukenal dia tokoh cerdik pandai. Bukan penjahat!'
'Sudah sudah, ingat asmamu ... Bijaksana menempel sejak kita lahir. Tinggal kita sadar tidak diberi kemurahan oleh Tuhan.'
'Ya, itu artinya temanmu pakai taktik terbalik.' kata sobatku seorang psikiater. 'Lewat Facebook kan?'
'Benar.' Jawabku. 'Maksud taktik terbalik apa?'
Sobatku mendesah tanpa maksud negatip. Ia menertawakanku yang dikatanya terlalu lugu.
'Disadari atau tidak, media sosial FB taruhlah adalah ajang paling efektif buat pamer. Kalau temanmu mengumpat ke musuhnya, dia menunjukkan kekuatannya. Tidak seperti yang dia sebut. "Bodoh" berarti dia bilang aku hebat dari kau.'
Sobatku menunjuk diriku. Penjelasannya cukup bernalar.
'Yang menggangguku, kenapa di frasa kedua dia pakai "tukang pos dan Abu Nawas?" seolah dua orang itu bego.' kataku ketus.
'Coba kau jelaskan!' Suruh sobatku.
'Tukang pos dia anggap pekerjaan hina. Padahal, kita bisa pakai hape buat SMS sampai sekarang tablet, dulu kita utang budi sama tukang pos. Lalu, Abu Nawas. Kukenal dia tokoh cerdik pandai. Bukan penjahat!'
'Sudah sudah, ingat asmamu ... Bijaksana menempel sejak kita lahir. Tinggal kita sadar tidak diberi kemurahan oleh Tuhan.'
Post a Comment