Header Ads

Menagih Ide Si Feminis Mengurai Masalah Sepakbola

Sepakbola identik dengan pria. Karena ia berujung kekerasan. Ricuh karena wasit berat sebelah, pemain menonjok muka lawannya akibat berebut bola, atau para suporter kesetanan karena tim kebanggan mereka kalah. Indonesia adalah raja sepakbola kasar. Penuh kekisruhan. Semua unsur saling curiga dan mendendam. Pengurus PSSI, pengamat, pemain, manajer, tidaklah dalam satu ikatan. Semua ingin menang sendiri. Tak ayal prestasi mandek, tak berkembang. Kedewasaan belum sepenuhnya membudaya. Yang ada hanyalah tindak mewujudkan simbol ‘Aku pasti menang’. Meski, segala cara dilakukan. Curang pun bebas diterapkan.
Terketuklah hati Feminis. Sebelumnya mereka tidak tertarik dengan ihwal persepakbolaan. Yang sering didengungkan adalah penyamaan derajat, yang kadang di luar nalar. Entahlah, penarikan simpulan ini bisa saja dibantah. Tapi, penting jika para feminis juga menyumbang pemikiran bagi kemajuan sepakbola di tanah air. Dan inilah saatnya Feminis unjuk gigi menyasar jantung pertahanan para pria.

***
Di kotak bernama televisi. Ada perbincangan hangat. Antara Femi Nirmala Sari, akrab disapa Feminis, dan pewawancara senior. Perlu diketahui, Femi bukan korban pelecehan seksual. Dan sang wartawan juga tidak memiliki hubungan darah dengan si gadis. Percakapan tidak atas rekayasa. Semua dilakukan dengan hati yang tidak panas.
‘Apa karena lambang negara kita Burung Garuda?’ cerocos Femi. Mendahului ucapan basa basi sang wartawan.
‘Ada apa dengan Burung Garuda? Bukankah ia melambangkan semangat kita untuk mengepakkan sayap menuju pentas dunia?’ tanya seorang wartawan majalah Y. Sok tahu benar itu wartawan.
‘Jelas Bang,’ jawab Femi. ‘Semangat itu pasti tercermin dari filosofi Garuda itu sendiri.’
‘Lalu kenapa Mbak?’ tanya lagi sang wartawan.
‘Ya ada kata ‘burung’. Itu kan onderdil laki laki. Jadi olahraga ini bersinonim maknanya dengan laki laki. Garang, kasar, dan beringas.’ Jawab bersemangat Femi.
‘Anda berlebihan.’
‘Bagaimana berlebihan? Itu nyata. Fakta.’
Sang wartawan mendengus. Menahan emosi. ‘Baiklah. Ada ide apa dari Anda untuk mengurai permasalahan sepakbola kita?’
‘Masukkan perempuan ke PSSI. Dua puluh persen. Saya rasa cukup. Biar seimbang kekuatan di tubuh PSSI.’ cetus Femi.
‘Dua puluh persen?’
‘Sebenarnya kalau mau adil, lima puluh. Tapi sebagai awalan, itu sudah bagus.’
‘Anda tidak puas dengan kepemimpinan Nurdin Halid saat ini? tanya sang Wartawan.
‘Jelas tidak puas. Galanita mati. Kalah dengan pesona Irfan Bachdim,’ protes Femi. ‘Saya mendambakan para lelaki, bapak bapak mengidolakan beberapa pemain perempuan.’
‘Jika Anda didaulat menggantikan Bang Nurdin, program apa yang pertama kali Anda lakukan?’
‘Pertama, mengumpulkan seluruh komponen bola dalam satu meja. Biarkan mereka berkelahi, disaksikan seluruh masyarakat Indonesia. Jadi saya akan mengajari bagaimana bermain jantan.’
‘Wah Anda sangat berani sekali,’ kata sang wartawan. ‘Ini juga berarti Anda mengatakan pengurus PSSI banci semua?’
‘Saya jujur ya, Mas. Memang mereka banci.’ tegas Femi.
‘Lalu apa program Anda selanjutnya?’
‘Kedua, memberi sentuhan perempuan buat Timnas PSSI.’
Sang wartawan bingung. ‘Maksud Anda?’
‘Maaf. Sepertinya Anda berpikiran jorok. Ayolah para Pria, hentikan pikiran kotor kalian. Jadi maksud saya, Timnas diseleksi secara ketat, kita datangkan pelatih yang tahu karakter pemain kita. Dan sebagai tambahan, para pemain dipantau kondisi kejiwaannya oleh para psikolog yang perempuan. Karena ini penting.’
‘Bukankah selama ini sudah berlangsung?’
‘Kami harus mengumpulkan data. Apakah para psikolog sudah berperan maksimal. Dan itu butuh waktu. Saya siap mendatangkan pengasuh bagi timnas. Berikan kasih sayang kepada pemain. Itu intinya.’ jawab Femi.
‘Program selanjutnya?’
Femi melirik jam tangan. ‘Waktu siaran kita sudah habis. Saya ada acara lain. Bagaimana Anda Pak Wartawan?’
‘Baiklah Ibu Femi. Terima kasih atas masukan Anda.’
‘Baik. Sama sama.Oya. Jangan panggil saya ibu. Mbak saja.’

***





Tidak ada komentar