Header Ads

Alladin dan Jin Lampu Wasiat (Bagian 3): The Last Erection

Erection, menegang. Tidaklah perlu otak menegang, pelipis berkerut untuk membaca kisah Jono. Seorang pemuda kampung, yang berlaku nista kepada Ibundanya sendiri.

'Anak durhaka. Jadilah kau batu.' sembari mengacungkan telunjuk kepada Jono. Muka Bunda merah padam.

Tidak berhasil.

'Kukutuk kau jadi batu. Sekali lagi.'

Awan tidak bergulung gulung. Petir pun enggan menggelegar mengiyakan doa si Bunda. Entah ajian apa yang dipunya oleh Jono. Hingga kesalahan fatalnya kepada Bunda tak berujung perubahan menjadi arca.

 

Jono bukan si Malin Kundang. Ia tak masih mengakui ibundanya sebagai cewek, kala itu berusia tujuh belas tahun, yang mengeluarkannya dari rahim. Melahirkannya ke bumi yang sangat indah ini. Jono tidak badung. Segala mata pelajaran yang diberikan guru guru madrasahnya dengan cepat ia tangkap. Memelajari segala petuah guru wajib ia lakukan. Inti dari segala inti, Jono adalah murid yang sangat cerdas.

 

Lalu apa yang menyebabkan si Jono dikutuk ibundanya?

 

Minggu siang. Terik sekali. Matahari di atas ubun ubun. Di pasar yang sesak manusia. Lelaki perempuan berkumpul; bertransaksi, menukar uang dengan barang, memanggul kotak kotak telur, atau bergosip tentang artis terkenal yang tengah naik daun tapi bertabiat buruk. Tak ada teriakan 'Copet. Tolong dompetku!' dari satu ibu yang kena jambret. Pasar aman aman saja. Satpam bekerja sangat rapih, membuat para pencopet tak berkutik.

 

Jono mempunyai kelebihan. Ia ahli mencukur rambut. Langganannya banyak sekali. Menyewa satu lapak, tak ada saingan di pasar itu. Banyak yang menjual batik, bersaing hebat, tapi Jono mengambil langkah taktis: menjual jasa cukur. Dan, uang mengalir dengan amat deras. Tanpa ada pesaing yang merebut pundi pundi uangnya.

 

Datanglah masa buruk bagi Jono. Seorang lelaki besar, berkepala plontos, dengan kumis yang panjang. Mukanya seram, dengan tindik di cuping hidungnya. Jika banteng matador bertemu dengannya, pasti terkekeh karena merasa malu. Lelaki itu terkenal sangat kejam. Seluruh isi pasar tunduk kepadanya. Apa yang dimintanya, harus diwujudkan. Dan kali ini Jono yang mendapat tuahnya.

 

'Potong rambutku!' teriak lelaki itu.

Jono bingung. Bagaimana mungkin seorang lelaki tak berrambut menyuruh dirinya untuk mencukur.

'Hei! kau tuli ya!' seru sekali lagi lelaki itu.

'En en dak. Bag bag gaimana ...,' jawab kelimpungan Jono.

Lelaki itu mendengus. 'Aku penging di-cu-kur rambutku! Paham!'

 

Orang orang lewat menatap dengan heran. Antara takut dan penasaran. Kenapa ada orang botak seperti itu.

'Maaf Bang.'

'Maaf apa?!'

'Rambut mana yang dicukur Bang?' tanya Jono gemetaran.

'Ya rambut ni.' jawab lelaki besar bertato bunga mawar di lengan kanannya sembari mengelus botaknya.

'Kan ga ada rambutnya Bang.'

'Kau ngelawan ya! Lakukan saja. Jangan banyak cingcong. Guwa babat Lu!'

 

Jono harus berpikir keras. Tidak melakukan perintah si Lelaki Preman, berarti lapaknya akan diobrak abrik. Melaksanakan titahnya, sama saja konyol. Seumur umur profesi Jono sebagai tukang cukur, tak pernah mencukur kepala yang tak berrambut.

 

'Kenapa diam! Ayo lakukan.'

'Oke Bang.'

Jono maju beberapa langkah mendekat si Abang Preman. Belum sampai mengambil gunting dan sisir, Jono dapat ide brilian.

    Radio diputar. Musik rakyat terdengar, ditawarkan sebelumnya oleh penyiar bersuara empuk. Tapi kabar angin menyebutkan, eksotisme wajah si penyiar tak sepadan dengan enak suaranya. Sudahlah. Toh penyiar dibayar karena suaranya. Bukan tampang apalagi gaya busananya.

 

Jono menuangkan air panas di dalam waskom. Handuk kecil dimasukkan. Diremas dan membentangkannya. Kepala si Abang Preman ditutup handuk hangat. Jono memijitnya.

 

'Apa yang kau lakukan!'

'Tenang Bang. Nikmati saja.'

Dalam hati kecil Jono, inilah saat pembalasan melumpuhkan si Preman. Komat kamit, Jono melafalkan ayat ayat. Tak jelas apa yang dia baca. Ia nyaris seperti nenek nenek bergumam melihat cucunya nakal bukan kepalang.

 

Dan, tiba tiba ....

Abang Preman berubah menjadi Si Emak. Kaget bukan kepalang.

 

'Hei Jono! Kau sudah mengingkari janji.' bentak Emak.

'Emak aku minta maaf. Aku tak berniat membunuh Abang tadi.'

'Ah kau pintar beralasan. Rapal yang Emak berikan kepadamu, bukan untuk membunuh orang.'

 

Oh, Jono yang dipandang orang banyak baik ternyata berniat membunuh satu pelanggannya. Tak disangka. Tak diduga.

 

'Apa niatmu melakukan itu, hah?' tanya Emak.

'Biar pasar ini aman Mak. Tidak ada niat buruk.' jawab Jono lemah.

'Bagaimanapun, aku mengajarimu kebaikan. Tak menyuruhmu berbuat jahat. Rapal yang kuajarkan kalau diucapkan akan menjadi kenyataan. Tak boleh sembarangan.'

'Aku tahu Mak ....'

'Tahu apa? Kau sudah berniat buruk. Aku tak memaafkanmu. Janji sudah kau langgar.'

'Maafkan aku Mak.'

'Tidak ada maaf bagimu.'

Emak berniat pulang. Baru sepuluh langkah, dia berbalik kembali ke Jono. Dan kutukan diucapkan, namun tak berhasil.

 

Jono melempar gunting. Menancap di jidat Emak. Seketika mati. Jono lari. Meninggalkan pasar. Pengunjung pasar mengerumuni Emak yang sudah hilang napasnya dari tenggorokan. Dan Jono seakan ditelan bumi. Polisi tak mampu mengendus persembunyiaan si Jono. Kasus berakhir.

 


 

Tidak ada komentar