Header Ads

Menemukan Dompet Tebal di Bulan Ramadan: Antara Setan Bertanduk dan Malaikat Manis

Menemukan dompet di pinggir jalan. Di bulan Ramadan. Serasa berada di suatu dilema. Di satu sisi, saya ingin memiliki semua isi di dalam dompet itu. Seluruhnya, termasuk KTP SIM STNK juga tagihan telpon dan listrik. Tak bersisa. Tapi, sejurus kemudian saya sadar jika ini masih bulan suci yang penuh berkah, Ramadan yang selalu dinantikan umat Muslim di seluruh dunia. Memang masih tersisa dua hari. Jika saya memiliki mesin pemutar waktu, saya ingin mempercepatnya. Jadi, memiliki dompet temuan di bulan Syawal, kadar maksiatnya menurun. Ah, itu pikiran yang mengada ada.

  Pelan pelan, penasaran, saya mengintip dompet. Membukanya, dan ternyata sang empunya adalah seorang ibu ibu. Saya membayangkan pasti di rumahnya, si ibu bingung uring uringan dan stres berat. Bisa jadi juga, muka suaminya sudah lebam kebiru biruan, menjadi pelampiasan sang istri, ibu yang dompetnya saya temukan di pinggir Jalan Mataram, di dekat Malioboro, yang penuh dengan pembelanja, pelepas sekadar sedekah bernama THR. Membeli oleh oleh bagi sanak saudara, berbagi kebahagiaan.

  Dan, benar. Di dalamnya ada uang berwarna merah. Ratusan ribu rupiah.


Kepala saya mulai bertanduk. Saya menghitung ada sepuluh lembar. Satu juta rupiah.Sungguh menggiurkan untuk memilikinya.

  Skenario yang akan saya lakukan, terbersit di dalam batin:

1. Mengambil uang, menyisakan surat surat, dan membuang dompet. Berharap ada orang yang berhati baik menemukannya. Dan mengembalikannya kepada si Ibu yang bernama Christine Panjaitan.

2. Uang saya ambil, surat surat juga. Buat koleksi dipajang di ruang belajar di rumah.

3. Dompet saya bawa ke Pos Polisi, tapi uang tetap saya ambil. Melapor ke Bapak Polisi, memohon kepadanya untuk mengembalikan ke si empunya.

Tapi poin yang ketiga ini akan bermasalah. Saya pasti akan ditanya macam macam, bak pesakitan yang siap diinterogasi dan memberikan jawaban serta merta. Dan jeleknya, saya berburuk sangka jika Petugas Kepolisian memiliki buruk hati: Tak akan meneruskan suruhan saya, mengesampingkan tugas yang saya berikan. Dalam bayangan saya, mereka melayani masyarakat, melayani saya. Dan harus tunduk kepada apa yang saya berikan tugas kepadanya.

4. Mengembalikan kembali. Dompet dan seluruh isinya. Tanpa kecuali. Karena bukan hak saya.

  Pilihan yang keempat yang mendorong saya untuk berpikir realistis. Saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk belajar berkuliah tinggi, hanya urusan dompet menjadikan akal dan nurani saya hilang. Uang satu juta, untuk ke depan, adalah hal yang tidak mustahil. Gelar yang saya sandang, dan insyaAllah banyak, untuk mendapatkan uang lebih dari itu sangat mudah. Saya menaikkan moral sendiri, berharap setan tidak terus merasuki diri saya.

  Saya menyelidiki, barangkali ada nomor telepon yang bisa saya hubungi.

  Di antara kartu. Oh, ada ATM. Wah lagi, nomor PIN ditulis di ATM itu. Makin tak keruan saya dibuatnya.

Astaghfirullah. Astaghfirullah. Saya menghela napas. Terus memohon kepada Allah semoga hati saya terjaga dari kehinaan.

Nah, dapat nomor telepon Bu Christine.


Saya segera mengontak. Beliau langsung menelepon. Mengucap beribu ribu terima kasih. Dengan ucapan 'Puji Tuhan. Yesus Kristus.' terus terucap dari bibirnya dari ujung telepon. Saya sempat kaget juga. Sempat saya menjaga jarak, karena saya Muslim. Dan perkataan itu agak membuat saya beringsut. Tapi, saya lalu menjaga emosi. Jika saya teruskan pandangan rasis ini, kekuatan saya akan melemah. Terlalu bergelut di pertanyaan, 'Si Kristen masuk neraka, si Buddha masuk neraka, si Hindu masuk neraka.' Sungguh pemikiran yang tidak bijak. Biarlah Allah  yang mengatur segalanya. Saya tidak berhak untuk memberi penghakiman.

Saya dan Bu Christine membuat janji untuk bertemu.

Hari H. Obrolan cukup menarik. Dan kami pun bersahabat. Membangun bisnis bersama. Berdasar kepercayaan yang saya tawarkan, berawal dari pengembalian dompet yang utuh. UTUH tanpa saya kurangi.



4 komentar: