Header Ads

Simbah Penjual Jeruk Nipis

Ia seorang ibu penjual jeruk nipis. Di belantara pedagang, pengangkut barang, di Pasar Mentari. Sedari pagi buta, hingga saya menyambut ia yang tengah berada di alam mimpi. Sejenak, karena siang ini sungguh melelahkan. Saya mendekati dirinya, yang tampak putih rambut dan kisut kulit kakinya.

'Ibu bangun. Saya mau beli jeruk ini.' sapa saya.

Ibu sang penjual jeruk di depan saya belum bergerak, untuk bangun. Saya diam, memelototi dagangan si ibu yang seluruhnya jeruk nipis, tak ada yang lain.

Ada pergerakan. Jari telunjuknya bergerak gerak, seolah bel waktu mendorongnya untuk terjaga dan kembali melayani para pembeli, langganan dirinya.

Benar. Kelopak matanya membuka. Setengah sadar, ia menatap saya.

'Ya Nak.' Mendadak ia mengangkat tubuhnya, dengan sigap, tanpa menunjukkan dia telah renta dimakan usia.

'Beli jeruk nipis ini, Bu. Mbah.' Saya mengoreksi sebutan yang saya berikan.

Ia mengingatkan kepada perjuangan nenek saya di kampung. Yang kini menghuni tanah, meninggal tiga bulan yang lalu. Nenek penjual juga. Tapi keripik singkong.

'Nek kowe ngko lulus Le, Emak mandeg dodolan keripik. Kalau nanti kamu lulus, Emak berhenti jualan keripik.' Begitu ucapan Emak kepada saya. Emak adalah panggilan kesayangan kami kepada nenek.

Setiap saya berada di pasar, tradisional, selalu bayangan tentang kehadiran Emak memberi cambuk saya untuk berbagi kepada para penjual di pasar. Membeli sekadar barang, menawar, dan mengobrol dalam sempitnya waktu. Sepenuhnya saya yakin itu seolah mendekatkan diri saya kepada jiwa Emak yang tersisa di dalam hati.

'Berapa kilo jeruk Nak?'

'Satu kilo berapa, Mbah?' tanya balik saya.

'Dua belas ribu.' jawabnya dengan nada pelan.

'Minggu kemarin delapan ribu Mbah. Boleh ya, Mbah?' bujuk saya.

'Saestu. Betul, Nak. Naik harga.'

'Pas berapa Mbah?' terus saya membujuk.

'Sebelas mawon. Sebelas saja.'

'Mboten Mbah. Saya ambil setengah saja. Lima ribu ya, Mbah.' Saya mulai menurunkan bobot, karena saya berpikir, sekilo akan banyak. Jeruk nipis nanti akan busuk, karena sifat saya yang cepat bosan. Membeli karena emosi, selebihnya dibuang karena sudah tak tertarik lagi untuk membuat wedang jeruk nipis sendiri. Bersemangat di awal usaha, tengah ke belakang tak memiliki nyali lagi. Mungkin inilah yang menjadikan saya belum mencapai kadar kesuksesan. Baiklah, dari jeruk nipis membuat saya harus menerbitkan diri untuk maju.

'Wis ndak papa. Buat langganan.' ibu mengiyakan permintaan saya.

Ia mengambil beberapa butir, saya menyela: 'Ini saja Mbah. Kayanya airnya banyak.'

Ah, terlalu cerewet saya. Tak mempercayai penjual, padahal sorot mata si ibu menyembulkan kejujuran. Tapi, saya berpendapat, jika di manapun penjual selalu saja ingin mengambil untung banyak. Entah mengurangi timbangan, memasukkan buah yang busuk, atau menawarkan barang dengan harga yang selangit. Sejatinya, saya kembali berpikir, tak baiklah beranggapan konyol seperti itu. Mencoba percaya kepada orang yang berpenghasilan rendah, jauh di bawah saya, musti dilakukan. Toh, misal kurang berapa ons, tak mengurangi kualitas jual beli jeruk nipis, atau barang apapun, di Pasar yang selalu memberi inspirasi saya ini.

Jeruk sudah selesai ditimbang oleh si Ibu. Bahkan dihangati. Bobot dilebihkan, sebagai pelengkap kepuasan para pembeli.

'Mangga Mbah uangnya.' Saya menyodorkan uang seratus ribu. Dua Pahlawan Proklamator tampak tersenyum. Sepertinya mereka menikmati transaksi saya dan simbah penjual jeruk nipis. Dan imaji saya mengatakan, jika anak anak negeri lebih mencintai pasar tempat berkumpul orang orang hebat seperti di sini, dan tidak terlalu sering pergi ke mall, hanya untuk memutar mutar dan pasrah dengan label harga, saya yakin ekonomi arus bawah akan menguat. Ya, ekonomi rakyat seperti ini.

'Wah belum ada kembaliannya, Nak.' Ibu mengeluh.

'Bentar Mbah.' Saya mengecek saku celana jins. Rogoh, dalam dalam saya mencari, ah ... ternyata ada. Kali ini uang kertas yang hampir mirip dengan yang tadi. Hanya warna merahnya tidak mencolok. Lebih kalem.

'Silakan Mbah.'

'Njih Nak.' Alangkah ibu di hadapan saya sungguh baik. Memberi saya harga murah, dan melayani saya dengan baik. Kata 'njih' adalah halus. Saya tidak pantas menerima perlakuan ini. Sedangkan beliau tua, saya harusnya yang lebih memberi penghargaan kepadanya.

'Ini Lima ribu Nak. Kembaliannya.'

Saya menatap mata ibu. Ia segera menunduk. Dan pura pura melanjutkan pekerjaan, menata jeruk nipis. Butiran berwarna hijau, yang kadang bersela kuning.

Ibu penjual jeruk nipis, Emak penjual keripik singkong yang bersama Allah, dan saya yang membeli. Jeruk nipis untuk mengingat keripik singkong.

Tidak ada komentar