Bermain Seluncur Salju di Gunung Kidul
Bermain seluncur bukan di hamparan salju. Tapi di tanah gersang, tanpa makanan yang tersebar.
Saya mengaku, jujur meski tak pernah dikata, pertama kalinya saya melakukan ini. Jika dibilang mencuatkan adrenalin, tidaklah pantas. Tidak membuat kejang perut, ketawa tak meledak, biasa saja. Lebih tepat dikatakan Otak Semakin Tertekan.
'Ayolah nikmati luncuran ini. Jarang jarang lo.' pekik sobat saya yang sejatinya juga memaksakan diri untuk berakting suka.
'Membosankan permainan ini.' Saya menjawab dengan rasa getir. Percis seperti memakan masakan pedas yang selanjutnya membuat perut berontak dan mengajak ke WC. Dan antrean anak kos berjumlah 10 berbaris di depan pintu. Sungguh tidak enak menahan.
'Kapan lagi kita main seluncur? Ayo.' Tangan sobat saya menarik saya. Saya berdiri dan mengibaskan kotoran di celana bagian belakang saya.
'Ah sial. Celana kotor. Coba kalau salju. Saya biarkan meresap ke kulit.' batin saya.
Sore ini, di lapangan penuh rumput. Berseragam a la Pasukan Swiss penjaga Pegunungan Alpen. Lengkap dengan baju hangat tebal, topi, dan kacamata anti ultraviolet. Juga seperangkat alat luncur.
Saatnya saya mencoba berlaku sebagai penikmat seluncur salju.
Hanya butuh kelihaian memerankan diri. Tak lebih dari itu.
Mencoba pada mula, menikmati dalam pertengahan, dan tertawa puas di akhir cerita.
Yah, sama dengan lakon para pemain sinetron yang serasa memecahkan logika di alam nyata.
Saya mengaku, jujur meski tak pernah dikata, pertama kalinya saya melakukan ini. Jika dibilang mencuatkan adrenalin, tidaklah pantas. Tidak membuat kejang perut, ketawa tak meledak, biasa saja. Lebih tepat dikatakan Otak Semakin Tertekan.
'Ayolah nikmati luncuran ini. Jarang jarang lo.' pekik sobat saya yang sejatinya juga memaksakan diri untuk berakting suka.
'Membosankan permainan ini.' Saya menjawab dengan rasa getir. Percis seperti memakan masakan pedas yang selanjutnya membuat perut berontak dan mengajak ke WC. Dan antrean anak kos berjumlah 10 berbaris di depan pintu. Sungguh tidak enak menahan.
'Kapan lagi kita main seluncur? Ayo.' Tangan sobat saya menarik saya. Saya berdiri dan mengibaskan kotoran di celana bagian belakang saya.
'Ah sial. Celana kotor. Coba kalau salju. Saya biarkan meresap ke kulit.' batin saya.
Sore ini, di lapangan penuh rumput. Berseragam a la Pasukan Swiss penjaga Pegunungan Alpen. Lengkap dengan baju hangat tebal, topi, dan kacamata anti ultraviolet. Juga seperangkat alat luncur.
Saatnya saya mencoba berlaku sebagai penikmat seluncur salju.
Hanya butuh kelihaian memerankan diri. Tak lebih dari itu.
Mencoba pada mula, menikmati dalam pertengahan, dan tertawa puas di akhir cerita.
Yah, sama dengan lakon para pemain sinetron yang serasa memecahkan logika di alam nyata.
Post a Comment