Astaga! Mama saya ternyata Putri Raja Drakula
Bulan tepat di atas kepala. Mengajak saya untuk segera berubah menjadi drakula. Mengisap darah para muda yang masih berkeliaran mencari angin. Saya menahan diri, untuk tidak berganti rupa. Menarik napas dalam dalam, menggosok hidung, dan menata rambut, saya berjalan menuju tempat yang lebih terlindung dari cahaya bulan. Karena, sangat buruk jika harus malam ini bermutasi.
Mama saya berdarah drakula.
Papa asli manusia, keturunan ningrat. Meski ia dibuang oleh kakek, karena ia tak lengkap tubuhnya. Kakinya tak sama tinggi jika berdiri. Sebelah kiri lebih panjang.
Hubungan saya dengan kakek biasa saja. Malah bisa dikatakan hambar. Walau saya tahu, akrab dengan kakek berarti segala keinginan saya akan terpenuhi. Minta mobil, bersekolah ke luar negeri, atau berbaju rapi wangi dan baru, seketika akan diberikan oleh kakek. Saya lebih memilih untuk menghindar darinya. Karena gelar separuh kebangsawanan saya adalah keganjilan bagi keluarga besar kakek. Saya bukan bagian dari mereka. Sepenuhnya saya menyadari keadaan ini.
Hanya sebentar saya berada di istana. Bermain main dengan sebaya, pangeran dan putri kerajaan, yang menurut saya penampilan mereka sangat elok. Saya tidak siapa siapa bagi mereka. Dan inilah yang menjadi masalah bagi saya. Sejak kabar burung yang mengatakan saya anak setan, yang disebarkan oleh musuh Papa saya, saya dihindari oleh pangeran dan putri kerajaan, yang sudah saya anggap sahabat saya. Akhirnya, saya dititipkan untuk diasuh oleh satu orang dusun.
Selang satu minggu papa meninggal karena tak mampu menahan hujatan dari masyarakat. Karena berhubungan asmara dengan Mama, drakula. Putri Raja Drakula.
Saya drakula, separuh darah saya bangsawan.
***
Sudah berada di tempat gelap. Aman dari bulan. Ramai di dalam, ini suatu tempat remang remang. Sayup terdengar irama mengentak. Saya amati, mereka, para remaja bergoyang goyang mengikuti musik. Dang dan dut, suara itu menarik saya untuk masuk.
Dua orang, lelaki dan perempuan, sopan menyambut kedatangan saya.
'Selamat malam Tuan. Selamat datang di Diskotik kami.' Sapa seorang perempuan dengan pandangan yang sangat hangat. Seolah saya adalah teman lama dirinya.
Saya mengangguk. Tak berkata, karena saya belum begitu tahu ada apa di dalam sana. Jangan jangan, kata itu berkecamuk di dalam hati saya.
Ah, sudah. Tak perlu berpikir panjang. Saya lebih masuk meninggal dua orang penyambut saya.
Astaga. Seluruh orang bertopeng binatang. Segala rupa hewan yang pernah saya kenal dari cerita Papa dan Mama. Waktu kecil, papa dan mama selalu mengajak saya ke kebun binatang. Mengenalkan ini harimau, monyet, itu jerapah dan burung. Lalu saya bertanya, 'Mana serigala, Pah?'
Mama tersentak.
'Serigala tidak ada di kebun binatang ini Sayang.' jawab Mama ragu.
'Gimana bisa, Mah?' tanya saya kencang.
Ayah menambah, 'Nak, serigala itu hidupnya di hutan. Dan ia muncul waktu purnama tiba.'
'Jadi, binatang di sini semua hidup di siang hari, Mah? Kalau malam mereka ngapain?'
'Tidur Sayang.' Mama menjawab.
Setelah saya dewasa, saya baru mengetahui jika Mama dan Serigala adalah cerita yang tidak bisa dipisahkan. Bulan, Mama, dan Serigala saling melengkapi. Itulah yang menjadikan sedih, mengapa dulu saya bertanya itu kepada Mama. Mama mati dipanggang hidup hidup oleh kakek saya. Dan, saya tidak begitu mengenal Mama.
Pesta topeng di diskotik ini. Saya tak bertopeng. Bagaimana jika mereka bertanya kepada saya. Hai, kamu makhluk apa. Tak tahu apa, di sini tempat para manusia bertopeng. Biar tak begitu mencurigakan, saya bergerak mengikuti alunan musik yang sekarang temponya melemah. Lebih lembut.
Saya memindai seluruh ruangan. Penuh dengan pernak pernik. Tulisan Happy New Year 2001 terpasang jelas di dinding dekat seorang biduan yang tengah menyanyi dengan ekspresi menyayat. Ia sedih, mendendangkan kisah yang saya tangkap Rintihan Seorang Istri yang Dimadu Suaminya. Oh, bukankah saat ini tahun 2010. Pasti, pemasang tulisan itu salah menempatkan antara 0 dan 1. Saya berada di masa lalu. Bagaimana bisa?
Mereka mematung. Ya Tuhan, apalagi yang terjadi. Setelah bergoyang, melambat temponya, sekarang mematung. Ada rahasia apa ini?
Tak tahan dengan yang saya lihat, saya bergegas meninggalkan tempat ini. Dan, aneh, dua orang yang tadi menyambut saya, sekarang hilang. Ke manakah mereka? Juga, di luar sudah pagi. Saya berada di ruangan tadi berjam jam. Tak merasakan jika waktu berjalan begitu cepat.
Selanjutnya, saya bergerak meninggalkan kota. Mencari ayah angkat saya di dusun.
***
Mama saya berdarah drakula.
Papa asli manusia, keturunan ningrat. Meski ia dibuang oleh kakek, karena ia tak lengkap tubuhnya. Kakinya tak sama tinggi jika berdiri. Sebelah kiri lebih panjang.
Hubungan saya dengan kakek biasa saja. Malah bisa dikatakan hambar. Walau saya tahu, akrab dengan kakek berarti segala keinginan saya akan terpenuhi. Minta mobil, bersekolah ke luar negeri, atau berbaju rapi wangi dan baru, seketika akan diberikan oleh kakek. Saya lebih memilih untuk menghindar darinya. Karena gelar separuh kebangsawanan saya adalah keganjilan bagi keluarga besar kakek. Saya bukan bagian dari mereka. Sepenuhnya saya menyadari keadaan ini.
Hanya sebentar saya berada di istana. Bermain main dengan sebaya, pangeran dan putri kerajaan, yang menurut saya penampilan mereka sangat elok. Saya tidak siapa siapa bagi mereka. Dan inilah yang menjadi masalah bagi saya. Sejak kabar burung yang mengatakan saya anak setan, yang disebarkan oleh musuh Papa saya, saya dihindari oleh pangeran dan putri kerajaan, yang sudah saya anggap sahabat saya. Akhirnya, saya dititipkan untuk diasuh oleh satu orang dusun.
Selang satu minggu papa meninggal karena tak mampu menahan hujatan dari masyarakat. Karena berhubungan asmara dengan Mama, drakula. Putri Raja Drakula.
Saya drakula, separuh darah saya bangsawan.
***
Sudah berada di tempat gelap. Aman dari bulan. Ramai di dalam, ini suatu tempat remang remang. Sayup terdengar irama mengentak. Saya amati, mereka, para remaja bergoyang goyang mengikuti musik. Dang dan dut, suara itu menarik saya untuk masuk.
Dua orang, lelaki dan perempuan, sopan menyambut kedatangan saya.
'Selamat malam Tuan. Selamat datang di Diskotik kami.' Sapa seorang perempuan dengan pandangan yang sangat hangat. Seolah saya adalah teman lama dirinya.
Saya mengangguk. Tak berkata, karena saya belum begitu tahu ada apa di dalam sana. Jangan jangan, kata itu berkecamuk di dalam hati saya.
Ah, sudah. Tak perlu berpikir panjang. Saya lebih masuk meninggal dua orang penyambut saya.
Astaga. Seluruh orang bertopeng binatang. Segala rupa hewan yang pernah saya kenal dari cerita Papa dan Mama. Waktu kecil, papa dan mama selalu mengajak saya ke kebun binatang. Mengenalkan ini harimau, monyet, itu jerapah dan burung. Lalu saya bertanya, 'Mana serigala, Pah?'
Mama tersentak.
'Serigala tidak ada di kebun binatang ini Sayang.' jawab Mama ragu.
'Gimana bisa, Mah?' tanya saya kencang.
Ayah menambah, 'Nak, serigala itu hidupnya di hutan. Dan ia muncul waktu purnama tiba.'
'Jadi, binatang di sini semua hidup di siang hari, Mah? Kalau malam mereka ngapain?'
'Tidur Sayang.' Mama menjawab.
Setelah saya dewasa, saya baru mengetahui jika Mama dan Serigala adalah cerita yang tidak bisa dipisahkan. Bulan, Mama, dan Serigala saling melengkapi. Itulah yang menjadikan sedih, mengapa dulu saya bertanya itu kepada Mama. Mama mati dipanggang hidup hidup oleh kakek saya. Dan, saya tidak begitu mengenal Mama.
Pesta topeng di diskotik ini. Saya tak bertopeng. Bagaimana jika mereka bertanya kepada saya. Hai, kamu makhluk apa. Tak tahu apa, di sini tempat para manusia bertopeng. Biar tak begitu mencurigakan, saya bergerak mengikuti alunan musik yang sekarang temponya melemah. Lebih lembut.
Saya memindai seluruh ruangan. Penuh dengan pernak pernik. Tulisan Happy New Year 2001 terpasang jelas di dinding dekat seorang biduan yang tengah menyanyi dengan ekspresi menyayat. Ia sedih, mendendangkan kisah yang saya tangkap Rintihan Seorang Istri yang Dimadu Suaminya. Oh, bukankah saat ini tahun 2010. Pasti, pemasang tulisan itu salah menempatkan antara 0 dan 1. Saya berada di masa lalu. Bagaimana bisa?
Mereka mematung. Ya Tuhan, apalagi yang terjadi. Setelah bergoyang, melambat temponya, sekarang mematung. Ada rahasia apa ini?
Tak tahan dengan yang saya lihat, saya bergegas meninggalkan tempat ini. Dan, aneh, dua orang yang tadi menyambut saya, sekarang hilang. Ke manakah mereka? Juga, di luar sudah pagi. Saya berada di ruangan tadi berjam jam. Tak merasakan jika waktu berjalan begitu cepat.
Selanjutnya, saya bergerak meninggalkan kota. Mencari ayah angkat saya di dusun.
***
Nah.. seperti ini...
BalasHapusLanjutannya dunkzzz... bagus tuch ceritanya....
BalasHapusHehehe. Sabar. Butuh konsentrasi. Belum fokus. Autis saya masih timbul tenggelam. trims
BalasHapusya...tapi bro...harusnya lebih konsisten. Papa...jangan berubah jadi ayah....Drakula... tak ada hubungan dengan srigala dan bulan purnama. Tapi....tuturnya lancar...ga bikin bosan.
BalasHapusSoriii
BalasHapusbelum diedit Kang.
Trims masukan darimuuuhhh
Iya saya kemarin mikir juga, kalau Drakula n Srigala bulan purnama ga ada hubungannya.
Tapi di dunia fiksi kan semua bisa disambungin hehehe
ntar tak pikir lagi.
Sip trims
oya lupa.
BalasHapussaya di sini berperan jadi penulis. Bukan editor lo hehehe
jadi, ntar masih bisa direhap.
Ntar dulu aja.
Baru males berperan jadi editor hehe