Header Ads

Buyung ditelan Sungai

Bermain air di kala banjir. Tak mengaku sedih, karena merasa air melimpah. Tak seperti di masa kemarau, kami mengeluh tak ada air, sekarang air banyak dan kami bisa bermain main dengan air.

Berenang adalah kegemaran kami. Dulu, sepuluh tahun lalu, kami sering bersendau gurau di bantaran kali. Mencari ikan ikan kecil untuk nanti dikasih makan ke ikan piaraan kami di rumah. Pernah, si Buyung tenggelam di sungai. Dan hilang selama dua hari. Seluruh warga kampung gempar. Para dukun bertindak cepat. Mereka bilang, Buyung disembunyikan oleh penunggu sungai. Tunggu dua hari ia akan kembali, begitu dukun paling senior berkata. Kami percaya. Dan selama dua hari dua malam, kami mengadakan Panjat Doa. Tak boleh satu pun warga kampung yang tertidur. Karena Buyung adalah anak orang terpandang di kampung kami.

Benar. Buyung kembali di hari kedua pencarian dan pemanjatan doa kami. Syukur kepada Dewa yang Maha Penyayang. Ayah Buyung senang bukan kepalang, karena anaknya kembali dalam bentuk utuh, hidup, tanpa cidera atau apapun. Bagaimana bisa?

Usut punya usut, inilah percakapan saya dengan Buyung. Tanpa sepengetahuan orang orang.

'Kok kamu hidup lagi. Bukankah kamu sudah mati tenggelam, Yung?' tanya saya.

'Hush, siapa yang mati tenggelam?'

Saya kaget, 'Kamu!'

Buyung malah tertawa hebat.

'Itu akal akalan aku saja.'

'Gimana bisa?'

'Waktu itu, aku pura pura tenggelam.' Buyung menyelidik apakah ada orang yang mencuri dengar percakapan kami. 'Aku berakting. Biar kamu dan teman teman percaya aku tenggelam.'

'Lalu?' Saya semakin bodoh dengan penjelasan Buyung.

'Aku lalu menyelam menghindari posisi kalian. Sampai jauh.'

'Terus?' Semakin penasaran saya dengan cerita Buyung. Memang, anak ini terkenal dengan kecerdikan dan kelicikannya.

'Ya ... mau bayar berapa dengan cerita ajaibku ini?'

'Ah kau Yung. Jangan gitu. Penasaran nih.'

'Ayo, mau bayar berapa?' Buyung menyodorkan tangan kanannya, seolah meminta bayaran.

'Gratis deh. Kan kita teman.'

Buyung menarik napas panjang. Seolah ingin menampilkan petualangan dua harinya yang membuat gempar seluruh warga kampung.

'Aku berlari jauh, meninggalkan kampung. Dan saat itu aku bertemu dengan seorang bapak tua di luar kampung. Kubayar dia.'

'Bayar buat apa?'

'Agar dia berbohong.' Kepala Buyung menunduk. Namun segera menatap saya dengan wajah yang lebih berbinar. Seolah tak menyadari jika berbohong adalah pekerjaan yang memalukan, dan akan mendapat murka Dewata di kemudian hari. 'Berbohong kepada warga kampung kita. Memberitakan kalau aku mati tenggelam.'

'Bapak itu mau nerima uang kamu?' selidik saya.

'Jelas mau. Apa sih yang ga bisa dibeli dengan uang.'

'Berapa kau bayar si Bapak itu?'

'Itu rahasia.'

'Kok rahasia.' Saya mulai menentangnya. 'Kau sudah berbohong, membayar orang untuk melakukannya pula. Sudah dua kali lipat dosamu. Sekarang kau berusaha memperdayaiku.'

'Memperdayaimu?' Buyung keras sekali tertawa. 'Memperdayai itu hanya kerjaan orang orang besar. Orang kaya.'

'Tidak. Maksudku, janganlah kau juga membohongi temanmu ini. Aku Yung.'

Memang untuk urusan kejujuran, kebohongan, dan kepurapuraan, saya tidak mau tawar menawar. Mutlak. Jadi saya terus memburu Buyung untuk mengungkapkan alasan apa yang melatari kejadian yang ia buat ini. Menipu seluruh warga kampung, menipu kebenaran.

Langit bergemuruh. Dari jauh terdengar suara anak anak kecil bermain air banjir. Sebaliknya ayah dan ibu mereka sibuk menyelamatkan perabotan rumah, kasur, atau televisi, atau segala yang bisa diselamatkan dan tidak terendam oleh air. Menyibukkan diri di tengah musibah kampung kami yang mungkin diberi laknat oleh Sang Dewa.

Laknat?

Ya. Dengan hutan kami yang gundul, tak ada lagi pohon pohon besar. Mengusir paksa binatang binatang di sana, membiarkan mereka tak mempunyai tempat tinggal. Betapa kejam orang orang kampung sekarang. Dulu, tak seperti itu. Semua menghargai hutan, kampung mendapat pasokan makanan, buah, atau sayur di sana. Sekarang, oh Dewa, jika memang ini murkamu, tunjukkan kepada kami bahwa yang kami lakukan adalah salah. Dan hukumlah kami hingga jera. Menerima hasil dari apa yang kami lakukan.

 

(Bersambung)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar