Header Ads

Istambulwati


Jendela pesawat ini seakan menjadi saksi kepergianku dari kota yang sungguh kucintai, Istambul. Aku mengikuti kehendak mamaku, atau lebih tepat egoisitas mamaku yang memang sudah di ujung tanduk. Dia mengikuti emosi yang sebetulnya tidak tepat untuk orang berpendidikan tinggi dan terhormat layaknya mamaku. Meninggalkan ayah adalah hal yang amat menyiksa batinku. Melepaskan semua impian dan angan yang telah kami pupuk sejak lama.
    Aku memandang cakrawala yang kini memerah, seakan ia tahu hatiku yang sedang gundah. Gumpalan awan juga cenderung memihakku dalam hal ini. Tak memihak mamaku yang duduk di sebelahku. Dia telah terlelap, entah mimpi apa yang kini menyambanginya, aku serasa tak lagi peduli padanya. Aku masih kesal dengan keputusannya menceraikan ayah, hanya dengan alasan tidak lagi kecocokan dalam berbagai hal. Sesungguhnya aku masih membutuhkan ayah, membutuhkan kasih sayangnya, lepas dari semua kekurangan yang sering mama keluhkan. 
     Kilat di sela gumpalan awan seakan menertawakanku dengan pijarnya. Ingin rasanya aku ke luar dari pesawat ini dan mendekatinya, meniti awan dalam cakrawala memerah dan mengajak anak kilat itu untuk bersahabat. Aku lalu mencari-cari sang surya, namun aku tak berhasil menemukannya. Badan pesawat yang kokoh ini, seangkuh hati mamaku, seakan menghalangi hasratku untuk menatap mentari, dan aku bercerita kepadanya hingga lepas semua deritaku ini.
    Bagiku, ayah adalah satu sosok manusia yang selalu menjadi pembimbingku di saat aku lemah. Mengisi kekosongan hari yang tak pernah kudapatkan dari sosok mama yang selalu tamak akan impian-impiannya. Ayahku berdarah Irak dan Turki, sementara mamaku mengalir darah Eropa, Prancis. Kata ayah, mereka dulu bertemu di kedutaan besar Prancis di Turki. Kala itu, mama masih berumur sekitar dua puluh lima tahun, lulusan Universitas Sonborne dengan segenap idealismenya. Ayah sendiri bertugas sebagai petugas keamanan kedutaan. Ayah tak pernah menceritakan secara detail, namun aku tahu kalau mereka memang jatuh cinta karena seringnya mereka bertemu. 
    Hatiku hancur saat mama mengajakku berangkat ke Paris. Aku terlalu rapuh, walaupun usiaku sudah dua puluh tahun. Aku tidak terbiasa jauh dari ayah, karena sebagian besar waktuku kuhabiskan bersama ayah. Bukan bersama mama. 
Aku terisak, kupalingkan wajahku dari jendela pesawat, dan aku rebahkan badanku ke tempat duduk. Aku masih berharap kehadiran ayah di sisiku.
    “Kenapa kau menangis, Maria?” tanya mama di sebelahku yang kini terbangun. Suara itu semakin membuatku kesal. Aku sungguh benci kepadanya. Namun tetap saja aku kuasai emosiku, agar tidak menyinggung perasaannya agar hatinya terjaga.
   “Aku masih memikirkan ayah, Ma. Aku berharap malam ini kita masih makan malam bersama.” Jawabku agak terpaksa. 
   “Seperti yang sering mama bilang, antara mama dan ayah sudah tidak ada kecocokan lagi.” 
   Selalu dan selalu, mama membuat alasan seperti itu. Aku ingin penjelasan ‘Mengapa aku dipisahkan dari ayah?’. Dan aku ingin sebelum mama menceraikan ayah, mama mendengarkan pendapatku, dari sisi pemikiran dan perasaanku. Tapi itu kuurungkan karena kami berada dalam pesawat dan aku tak ingin semua orang terganggu.
    “Sudahlah, nanti kita bicarakan setelah kita sampai di rumah nenekmu di Paris. Semua akan aku ceritakan dan kamu kelak tahu bahwa perceraian ini harus dilakukan.” Bisik mama. 

Hari Paling Pahit dalam Hidupku
    Sebagai perempuan berdarah campuran antara Asia dan Eropa, aku mempunyai dua sisi hidup yang berbeda. Disiplin keras yang dialirkan oleh mama berpadu serasi dengan kelemahlembutan perangai dari ayah. Aku belajar menggantungkan segenap cita dan asa dari ibu, juga belajar sopan santun dari ayah. Awalnya semua itu berlangsung cukup baik, hingga aku berumur lima belas tahun. Sejak itu, kondisi rumah tangga kami limbung. 
   Ayah dan mama menikah dengan tradisi Islam. Sebelum dinikahi ayah, mama adalah penganut Katolik Ortodoks. Namun karena mama saat itu terkesima dengan ajaran Islam juga perangai yang ditunjukkan ayahku, dia akhirnya menjadi Muslim dan bersedia mempelajari ajarannya melalui bimbingan seorang ulama di Istambul. Ayah pernah berkata kepadaku bahwa mama mencintainya bukan karena cinta semata, tapi karena tertarik kepada Islam. Agama yang diberitakan media barat ternyata tidak seseram saat dia menginjakkan kakinya di Turki, negeri sekuler yang tetap menghargai akar Islamnya. 
   Sekembali dari sekolah, siangnya aku belajar mengaji bersama ayah. Tangan kokohnya, telapak tangannya yang kasar dengan kulit berwarna cokelat kehitaman, selalu menuntunku menunjuki huruf-huruf Al Quran.
   “Lengkung seperti perahu dengan titik satu di atasnya disebut Nun, Maria.” Ajarnya dengan suara lembut dan dewasa. Suara itu masih terngiang hingga aku dewasa. Selalu mengiriku menapaki masa depanku.
   “Kalau lengkung ini yang titiknya di bawah, apa Yah?”
   “Ba, Maria.”
   Aku berpikir sejenak sambil mengetuk-ngetukkan penunjuk Al Quran di kepalaku.
   “Ayah, orang shalat kenapa harus menghadap Ka’bah? Bukankah Allah berada di hati kita?” tanyaku pada suatu waktu.
   “Maria, biarpun Allah ada di mana-mana, di hati kita, tapi Allah ingin mengajari kita untuk disiplin dalam waktu, bekerja dan berdoa. Kiblat hanyalah simbol hati kita bahwa kita adalah satu, satu menuju Allah.”
   Aku masih kecil saat mendapatkan pelajaran seperti itu dari ayah. Dan baru ketika aku menginjak dewasa meresapi apa perkataan ayah. Bahwa semua hal tidak harus bisa dijelaskan dengan logika, namun semua berasal dari hati. Hati yang membawa kita menuju kebahagiaan hidup.
   Namun ujian hidup biasanya datang di saat kita mendapatkan kebahagiaan itu. Mama yang terlalu sibuk semakin tenggelam dalam tumpukan kertas-kertas kerjanya. Berbeda dengan ayah yang mempunyai waktu luang, setelah bertugas menjaga keamanan. Mama menjadi acuh terhadap perkembanganku; dengan alasan sering rapat mendadak, mempersiapkan materi presentasi, ataupun segala alasan lain.
   Malam itu udara Istambul tidak bersahabat, awan mulai gelap, dan keramaian anak-anak muda yang biasanya kami kenali tiba-tiba menghilang. Aku sendiri di dalam kamar tidurku yang sedari balita memang aku telah tidur terpisah dari orang tuaku. Masih terbayang dengan pelajaran yang diberikan oleh ayah, aku berusaha memejamkan mata. Aku pandangi langit-langit kamarku yang bercat biru, tembok yang kuhias dengan gambar artis cilik idolaku, meja belajarku yang di sana tersusun rapi bermacam-macam judul buku. Sungguh sepi suasana kamar dan sekeliling rumahku. Entah apa yang akan terjadi, aku hanya menebak mungkin sebentar lagi salju akan turun, tapi ini bukan musim salju.(Pret, bersambung entah kapan. Ini ditulis 4 Juni 2008)



















8 komentar:


  1. Trus kapan Maria bakal jumpa Fahri Stroberi Tralala-Trilili itu?

    BalasHapus
  2. besok pas mau kiamat hahaha
    malas nerusin. kamu terusin gih

    BalasHapus

  3. Lha kok malah aku diumpan nerusin novel mendayu-dayu... Emangnya udah ada yang mau nerbitin? Royaltiku berapa persen, bayarnya per bulan ato gimana? Crot, mentalku mulai meluntur ini... Mbah Praaaaaam, Andhy ini lhoooo...

    BalasHapus
  4. belum nulis dah rewel
    Ini bukan mendayu
    Tapi merangsang. dasar

    BalasHapus

  5. Merangsang rasa mual, gitu? Jangan ngomong-ngomong merangsang tho Ndy, aku lagi mencret ini je...

    BalasHapus
  6. saya lempar mangkuk. Awetkan. Jual di gerai gerai mall.

    BalasHapus

  7. Kita jual dengan konsep waralaba ya Ndy? Wah hebat, insting bisnismu meningkat pesat.

    BalasHapus
  8. iya. yaiyalahh. secara calon presiden hehehe

    BalasHapus