Header Ads

Menara Masjid Sepiku yang Tinggi dan Berhias Kerlip Lampu

Menara masjid sudah kami tinggikan. Dihias kelap kelip lampu berharap keramaian kembali terjadi. Ya, bergerak ke belakang mengenang masa kecil kami. Saat satu kyai dengan tangan kasarnya siap memukul lengan kami. Di antara puluhan pengaji, ia sibuk membaca Al Quran sendiri. Tapi anehnya, jika seorang pengaji salah tongkat ajaib itulah yang berbicara. Telinga si Kyai punya radar, batinku dan masih saja berdengung hingga sekarang.

'Tiap huruf ketika kita membaca Al Quran adalah pahala.'
Begitu Kyai kami sering berujar. Sayang ia telah pergi ke hadapan Allah. Ia sering berhitung, tiap langkah menuju masjid akan mendapat sekian derajat. Mengerjakan shalat Tarawih sekian derajat. Dan lain lain. Sekarang aku bertanya, setelah ruh metropolitan yang kadang membuatku angkuh, mengapa beribadah tak ubahnya orang berbisnis?

Tak mungkin menyamakan dua hal itu. Jelas ibadah adalah landasan bagi seluruh perbuatan. Cara memandang saja yang kini bergeser. Tak mulus seperti aku dan teman temanku diajari oleh sang Kyai. Kami percaya tanpa berani mendebat.

Anak anak sekarang berseragam bagus. Pergi ke madrasah untuk mengaji. Tidak di masjid lagi. Masjid terlalu suci untuk anak anak sekarang yang suka berlarian sambil membawa aneka makanan dan minuman. Selain kegiatan shalat, masjid kami terkunci rapat. Masjid kami sepi, meski sekarang ada menara tinggi pencorong azan.

2 komentar:

  1. Musafir sholat di beranda mesjid, para pedagang berniaga di seputarnya. Saf penuh hanya sekali seminggu, Jum'atan, atau jika Hari Raya bersimbah hujan. Memangnya kau sholat di mesjid, Ndy?

    BalasHapus