Header Ads

Ketika Takdir Kematian Menjadi Sandera: Antara Tertawaan, Jeritan, dan Tangisan

    Meramaikan pekuburan, tidak hanya mal dan swalayan. Berbelanja kematian, tidak hanya kutang berrenda sutra bikinan Itali. Memasuki alam gaib, tidak melulu alam barzah duniawi. Mendekati para arwah peninggal belulang remuk, mencari berkah bernama kecukupan makna hidup. Menyoroti dengan senter keinginan untuk belajar dari orang orang dahulu, pahlawan-pahlawan pendahuluku.    
    Pocong, suster ngesot, drakula, sundel bolong, menangis deras di hadapanku. Tidak rela satu anak bangsa menundukkan hati di hadapan mereka. Tidak menertawakan dan menjerit saat duplikat para hantu beraksi di layar terlevisi. Berharap anak muda itu ikut bersama teman-temannya, para pelaku kebiadaban terhadap bangsa halus. Memohon nama setan dan hantu tetap ditaruh di stoples bening. Dipelototi untuk dibuka tutupnya sewaktu waktu diajak bermain dan tidak menakut nakuti manusia. Mereka berharap.
    Anak muda itu ternyata bisu. Dia tak mampu berkata, hanya sorot mata. Dari hati, jika mati adalah takdir yang tak butuh tertawaan.
    Para hantu diam pula.
    Anak muda dan para hantu membuat api unggun

Tidak ada komentar