Header Ads

Masjid Demak, Episode 1 (Seri Pelancong Gendong)

Pesona Jawa klasik mengusikku. Tak terlalu kontemporer, juga tak begitu populer. Arah tengah, sejarah Jawa-Islam. Demak Bintoro dengan pancaran yang memikat, walau sedikit meredup.

Mengisi lebaran dengan cerita yang tidak haru biru. Berkunjung ke sanak sahabat sudah lumrah dilakukan. Salam menyalam telah tuntas dalam beberapa jam saja. Selebihnya, aku berpetualang ke Demak. Sangat bodoh jika selama hidupku tak pernah berkunjung ke sana. Bisa dibayangkan, jarak Purwodadi dan Demak sangat dekat, cukup satu jam perjalanan. Untuk menghapus predikat pemuda kuper, aku mantapkan melancong ke Demak. Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Aduhai sedap.

Bus ukuran setengah membawaku dari Terminal Purwodadi. Tak begitu sesak, aman aman saja. Sangat nyaman buat orang yang tidak menyukai kerusuhan. Aku, pemuda pro perdamaian. Di dalam bus kudendangkan lagu Afghan dengan suara lirih dan manja. Pak sopir tersenyum manis terlihat dari spion. Dia pasti mengira aku kloning si penyanyi muda berbakat itu. Pasti, kacamataku mirip sekali. Berganti ganti lagu dari berbagai penyanyi, aku terlelap. Sial, mata kepitingku tak bisa diajak bersahabat. Aku kehilangan momen penting dalam perjalanan. Ya, sensasi naik bus di jalanan penuh gelombang. Jalan utama Purwodadi Demak terkenal sangat galak. Struktur tanahnya yang selalu bergerak tak memungkinkan bagi para mandor kontraktor unjuk taji. Selalu dalam hitungan bulan kembali berlubang di mana mana. Dan aku hanya bisa merasakan hal ini di alam mimpi. Menjadi perompak yang mabuk laut.

Masuk di Kota Demak. Aku sudah bangun. Bersambung.

Tidak ada komentar