Header Ads

Kesederhanaan yang Membunuhku

    Aku mati dalam kesederhanaan. Ditinggalkan kemewahan yang seharusnya aku raih di masa mudaku. Keputusanku untuk menjelajahi dunia dengan sekadar rasa, membawaku ke dalam keremangan. Aku mati, tapi perlahan-lahan. Membusuk, dalam rentang waktu yang menjemukan. Sempat kubertanya, apakah aku benar memilih jalan ini. Jawabannya, aku terus saja melangkah menjadi orang yang sederhana. Tapi itu salah, atau benar? Aku tak tahu pasti.  
    Semua orang menanyakan keadaanku, apakah aku sudah menjadi orang terhormat. Selalu dan selalu, aku diukur dengan kebendaan. Aku ini manusia, bukan benda. Kejengkelanku meledak jika ditanya seperti itu. Namun seiring bertambahnya usiaku, aku menahannya jangan sampai aku termakan emosi, oleh beratnya risiko atas pilihanku. Kesederhanaan menjadi candu, membuatku mati dalam kesombongan. Tidak tinggi harta saja yang membuat orang lupa, pilihan bijak bisa juga menjadi bumerang.  
    Akankah aku berubah pemikiran? Terbawa oleh arus yang kutentang. Menjadi manusia terpandang, bergelimang harta, pujian yang terus dinikmati, juga batu marmer yang telah menunggu di pekuburan? Aku harus memutuskan. Atau, aku kembali berada di sebuah persimpangan.  
    Aku sepenuhnya yakin, pilihan untuk berbeda dengan orang lain BENAR. Benar, menurutku. Mengapa aku harus sama, sedangkan Tuhan membuat hambaNya berbeda ras? Tapi, benar-benar sulit mewujudkan kebenaran yang kuanggap benar. Tersiksa lahir batin, jiwa seakan terpasung, ingin meronta sedikit pun susah sekali.  
    Kembali lagi, semua ada risikonya. Apakah aku harus mundur? Tidak boleh. Mau jadi apa diriku jika ini terjadi? Aku sudah rusak di mata orang kampungku: Mereka menghakimiku sebagai lulusan universitas terkenal tapi miskin. Tak mau aku makin hancur dan kembali ke lumpur. Biar aku terdera, tapi itu baik untuk masa depanku. Daripada harus mengekor keberhasilan orang tua, orang lain, atau tokoh idola. Aku harus menjadi diri sendiri. Setidaknya aku memberi sedikit nilai untuk orang lain. Daripada aku mati tanpa hal yang kutinggalkan.  
    Waktuku mendekat, kematian itu makin nyata. Aku bertanya, apa yang telah kuberikan pada insan lain. Kupacu semangatku untuk lebih mengenal diriku sendiri, sebelum aku menuntut banyak orang lain. Aku membiasakan diri melakukan kewajiban terlebih dahulu, dan masa bodoh hak yang aku peroleh. Biar saja orang lain memakan hakku. Tapi aku yakin Tuhan akan memberi ganti kepadaku di lain kesempatan. Sepenuhnya aku yakin tentang itu.  
    

Tidak ada komentar