Header Ads

Jalan Pintas (Seri Pelancong Gendong)

    Jalan pintas. Dicari agar mencapai lebih cepat. Rasanya ____ mendapatkan sensasi. Waktu menjelang tengah malam. Angin di sini tak sekencang di kotaku. Lesu sepertinya, enggan bergerak. Apa mungkin keramaian itu di tempat lain? Tersembunyi di balik tembok-tembok kaku yang menyesakkan? Samar dilihat orang awam, transparan di mata para pemburu kenikmatan.
    Zakarta, dengan huruf pamungkas. Tak pernah berdezis, tapi menggeliat. Ular berpesta di lorong-lorong tanah sempit. Berdesa-desakkan, ingin ke luar dan menunjukkan tengkoraknya. Batok kepalanya yang raib entah ke mana.
    Di mana dia? Tak terucap kata lancar dari mulutnya. Terkatup entah ada masalah yang ditimpakan. Sama pula denganku. Bisu tak bergerak mencoba merenungi apa yang Tuhan berikan.
    Alam, pantaskah aku bercerita hal ini? Di sebuah ruang sempit berdebu yang tak biasa bagiku? Inikah warna hidup yang kau tunjukkan? Bukan hanya hitam dan putih, kelabu pula.
    Aku bersyukur dalam detik ini. Sama, sama, dan sama. Ukuran itu tak selamanya dari diriku. Orang lain pantas pula mengukur. Bertanding rasa, saling memelototi, siapa yang terkuat.
    Masih belum tegak napasku. Mencari-cari jalan yang aku tak tahu. Rahasia apa sebetulnya. Aku harus adil, menilai perjalananku. Lumrah jika banyak yang meragukan. Tapi apakah aku harus berhenti? Menyerahkan begitu saja mimpi-mimpi yang membuatku bisa hidup? Tentu tidak. Sekujur tubuhu tak mengizinkan hal itu terjadi.
   Waktu, bersahabatlah denganku. Kumohon biarkanlah aku menyambung pecahan diriku. Semenit jika masih mahal dirasa. Cukup itu. Agar kudapat mencecapi hidup baruku.
   Tangan ini mengalirkan emosi di hatiku. Mencoba melepaskan penat yang menghantamku bertubi-tubi. Perih, pedih, tak layak diceritakan. Hanya aku yang harus menanggungnya.

Jakarta, menjadi pelancong-gendong.
Merasakan aroma sedap di manapun kuberdiri.

Tidak ada komentar