Header Ads

Terisap Papan Tulis Ajaib Penembus Waktu

Papan tulis hitam di depan kelas menyedotku masuk. Aku berada di sebuah tempat yang aku bisa melihat teman-temanku di hadapanku. Mereka tengah sibuk belajar, membuka-buka buku, melirik sana-sini, dan melihat tampang serius Pak Guru.

            Jam enam lewat tiga puluh menit, aku terisap saat kumemasuki kelas paling awal. Sekolah masih sepi, hanya ada pak Kardiman, tukang kebun sekolah. Sempat aku tersenyum kepadanya sebelum aku menarik pegangan pintu kelas. Saat masuk, aku langsung ditarik oleh sesuatu yang mirip vacum cleaner. Kini kusendiri di dalam papan tulis hitam. Belum ada yang mengetahui.

            “Di mana Dony? Ada yang tahu?” Pak Guru bertanya kepada teman-teman.

            “Mungkin sedang sakit, Pak.” Ardi, teman sebangkuku menjawab.

            Aku di sini, Di. Pak Guru, saya berada di sini. Mengapa kalian tidak melihatku? Tolong, aku terjebak. Tidakkah kalian melihat wajahku?

            “Oh, Pak. Di laci ada buku Dony!” seru Ardi.

            Jangan buka buku itu. Itu tulisan pribadi, catatan harianku. Mampus, segala rahasiaku akan terbongkar. Saat kubenci pada guru olahraga yang membosankan, juga rasa tertarikku pada gadis pujaanku di kelas sebelah. Aku pasti ditertawakan oleh seisi kelas. Betapa malunya diriku. Jangan buka, jangan berikan ke pak Guru. Pak Guru, tolong jangan percaya kepada Ardi. Itu buku bohongan.

            “Coba aku periksa.”

            Pak Guru berjalan mendekati mejaku. Jantungku berdegup kencang. Ingin kukeluar dari papan ini dan merebut buku itu, dan aku langsung berlari bersembunyi ke rumah pak Kardiman. Sehari-hari aku memang akrab dengan pak Kardiman. Aku senang berbincang dengannya karena kesukaan kami yang sama. Menyukai alat musik seruling. Teman-teman kelasku tak pernah akrab denganku. Mereka selalu mengolok-ngolokku hanya karena kaki sebelahku kecil. Aku dihindari dan pak Kardimanlah sahabat terbaikku di saat olahraga di mulai, ataupun waktu istirahat.

            “Tak ada isinya, tak ada catatan.” Ucap Pak Guru.

            “Hah ... tak mungkin.” Seruku dalam hati.

            Bagaimana bisa catatan harianku hilang. Aku rajin menuliskan keluh kesah dan impian-impianku. Mengapa pak Guru tak menemukan segores pun tulisan di dalam buku itu?

Tidak ada komentar