Header Ads

Shantie, Jalan-jalan ke Amsterdam

Berkunjung ke negeri seberang. Mewujudkan mimpi yang telah lama terpendam. Menceritakan aneka kisah lucu dan menyenangkan kepada sahabat di negeri sendiri. Menyalurkan semangat hidup, berharap suatu saat temannya beruntung mendapat giliran berwisata.

            Menenteng plastik belanja bertuliskan nama toko terkenal, Shantie dan sepupunya menyusuri jalanan Kota Amsterdam. Penat yang dia tumpuk selama dua tahun seakan meluap tak berbekas lagi. Menjernihkan pikiran, membuka cakrawala baru, dia mengulas senyum di setiap foto yang dikirimkan ke website pribadinya.

            Aneka komentar mengharu biru, gurauan, ejekan, dan ekspresi lain menambah semarak hati Shantie. Sungguh hidup ini terasa lengkap, karier yang melambung, teman-teman yang peduli kepadanya. Bersenandung kecil diikuti suara alto sepupunya, Shantie memandang sungai yang membelah kota. Keindahan yang belum tentu dia temui di negeri sendiri, diserap dan dimasukkan ke dalam otaknya. Ide-ide muncul di kepalanya, setahun lagi novel sekuelnya akan beredar di pasar.

            Menuai sukses dengan tulisan perdananya, Promosi Sosialisme di Tanah Air Menggantikan Demokrasi, yang merupakan tulisan semi-novel, royalti mengalir deras ke sakunya dan dia gunakan untuk mencari inspirasi. Isu yang beredar dia akan menulis novel penuh tentang percintaan terlarang antara Duta Besar dan stafnya. Dia tidak membantah dan tak pula mengiyakan. Rahasia dia pegang dan tak akan menyiarkannya ke media sebelum tulisannya tuntas. Shantie termasuk tipe penulis yang selalu membuat kejutan. Sorotan gencar media adalah efek yang memang layak didapatkan karena tulisannya memukau.

            “Shan, kapan kamu menikah?” sepupunya bertanya.

            “Kamu sendiri kapan?” Mereka lantas tertawa bersama.

            Angin mengalir lembut dan membelai tubuh mereka. Jelas sekali sang bayu tak bisa mempermainkan rambut Shantie karena dia berjilbab. Sepupunya tak berjilbab, dia lebih leluasa bermain dengan angin. Tapi itu tak menghalangi Shantie untuk tetap percaya diri di negeri orang.

            Sempat dia kecewa diperlakukan semena-mena di tengah kerumunan remaja Amsterdam. Ucapan mereka memang tidak jelas, tapi setidaknya dari intonasinya menunjukkan jika mereka menganggap perempuan berjilbab adalah sebuah lelucon. Namun kedewasaannya menutupi amarahnya, dia tidak memedulikan gurauan mereka. Dia tengah menikmati keindahan Kota Amsterdam, tak penting untuk mendengarkan ucapan rasial.

            Shantie dan sepupunya terus mengobrol. Terkadang mereka tertawa lepas, seakan menemukan kegembiraan lama yang pernah hilang. Sepupunya, sahabatnya.

 

Tidak ada komentar