Header Ads

Obrolan Politik Hangat Rindunesia dan Cintanesia

“Selamat pagi, Kak Rindunesia.” Cintanesia menyapa kakaknya. Senyum terlempar dari bibir manisnya. Sembari menyuguhkan secangkir teh manis dan biskuit-biskuit mungil, dia menggoda kakaknya yang tengah serius membaca.

            “Kakak sedang membaca apa?”

            “Ah, Cinta. Kenapa kamu sering ganggu Abang sih?” ucap Rindunesia sebal.

            “Waduh minta dipanggil abang, ya? Mama bilang kakak lahir di Jawa, bukan di Betawi!” Cintanesia bicara ngotot.

            “Sama saja. Dasar bawel!”

            “Ya sudah deh. Bang, minum dulu teh panas ini. Ada biskuit enak juga nih.” Cintanesia menawarkan dengan ucapan yang lebih lembut.

            “Sebentar, tinggal beberapa soal lagi. Abang besok mau ujian, jadi harus serius belajar.”

            “Ujian? Bukankah Abang sudah selesai ujian sekolah. Kan sudah lulus sekolah?” gadis itu penasaran.

            “Ini untuk mendaftar calon legislatif Pemilu 2009.” Ujar Rindunesia mantap.

            “Apa itu legislatif, Bang? Sama tidak dengan kue lapis legit? Enak lo Bang, tante sebelah rumah sering kasih kue itu, Bang!”

            “Ah dasar anak kecil. Kamu belum tahu apa-apa. Ini politik, Adikku Sayang.”       

“Abang kan masih muda, mana bisa main politik? Ayah saja kalau aku tanya tentang politik di TV, dia selalu marah.”

“Itu kan ayah. Aku beda. Darahku masih panas, aku ingin membangun bangsaku menurutku. Orang-orang tua harus rela anak muda menjadi pemimpin.” Rindunesia berkata lantang dan menepuk-nepukkan kepalan tangan kanannya ke dada.

“Cinta, Rindu, bantu ibu memotong bawang ini. Buruan kalian ke mari. Mata ibu perih.” Pinta sang Bunda.

Bertiga mereka menangis bombay sembari menonton sinetron menjelang Ramadhan di televisi swasta. Diselingi tontonan gosip, iklan, dan berita kriminal.

Teh panas dan biskuit yang berada di meja teras merana.

Tidak ada komentar