Header Ads

Meninabobokan Mentari, Amarah Angin Laut, dan Perompak Sentimental

Mentari beranjak dari peraduannya. Memanaskan tubuhnya yang dingin semalam. Bulan yang menggantikan paruh tugasnya, memasang temperatur terlalu kecil. Hingga tak sadar, sang mentari kesiangan. Untung saja dia diingatkan oleh kokok ayam jantan. Jika tidak, tak bisa dibayangkan bagaimana nasib para pedagang di bawah sana. Di bumi manusia.

            Angin laut menghampiri sang mentari. Dia mengajak bermain ‘tepuk tangan’ khusus hari ini. Dimintanya sang mentari menepukkan tangan satu kali, sang angin akan berputar mengitarinya sebanyak dua kali. Semakin banyak sang mentari bertepuk tangan, kecepatan perputaran angin laut akan bertambah.

            “Apa yang ingin kau lakukan dengan permainan ini?” tanya sang mentari.

            “Tidak ada apa-apa, Mentari.” Jawab singkat sang angin laut.

            “Mana mungkin. Matamu tidak bisa berbohong. Kedipan ragu itu menunjukkan jika kau menyembunyikan sesuatu.”

            “Sungguh.”

            “Jadi, kita tidak akan saling berbagi cerita? Sudah lelahkah dirimu berteman denganku, Angin?” tanya sang mentari agak menekan.

            “Baiklah aku akan bercerita,” sang angin menghela napas. “Aku sebenarnya sedang kesal.”

            “Kesal dengan siapa?”

            “Coba kau lihat di bawah sana. Di laut berwarna hitam itu.”

            “Ya aku melihatnya. Tapi bukankah laut seperti biasa. Tidak kulihat sesuatu yang ganjil.”

            “Sebentar, amati beberapa menit lagi ada sesuatu yang bergerak dari balik karang besar itu.”

            Benar, ada sebuah kapal besar mulai tampak. Layarnya terkembang berwarna hitam dengan suatu gambar putih di tengah-tengahnya. Gambar tengkorak dan belati di bawahnya.      

            “Mereka perompak!” teriak sang mentari. “Kau pernah dirampok, Angin?”

            Mata sang angin memerah, sepertinya amarah yang dipendamnya ingin dia tumpahkan. Dengan bibir bergetar, dia mengucapkan sesuatu yang selama ini tak pernah dia ucapkan.

            “Aku ingin memberi pelajaran kepada mereka. Mereka telah mencemari laut dengan minyak yang mereka sengaja buang.”

            “Bagaimana bisa mereka membuang minyak?” tanya sang mentari penasaran.

            “Kapal itu sebenarnya kapal pengangkut limbah pabrik. Mereka membuang limbah agar biaya pengolahan pabrik-pabrik milik cukong jahat berkurang. Jahat sekali mereka.”

            “Aku sekarang mengerti, Angin. Aku mendukungmu. Mari kita bermain ‘tepuk tangan’ dan kita buat angin tornado biar mereka terhempas.”

            “Mari kita lakukan, mentari. Jangan lupa suhumu harus kau naikkan. Biar para perompak itu tahu rasa. Merasakan ikan-ikan yang mati, karang-karang yang musnah. Mereka harus membayarnya.”

 

Tidak ada komentar