Header Ads

Mempermainkan Ibu Guru saat Pemeriksaan Kebersihan Kuku

Kusembunyikan tanganku, tak mau tongkat pemukul bu guru melayang kepadaku. Kuku-kuku hitamku belum aku bersihkan, apalagi dipotong. Aku malas berlaku seperti seorang puteri cengeng dari negeri dongeng. Permainan tanah menjadi kesukaanku, tak peduli bu guru dan ibu di rumah sering mencerewetiku. Paling juga mereka akan mencuci tanganku, memotong kuku-kukuku yang panjang. Habis sudah perkara.

            Aku lihat teman sepermainanku dipukul tangannya. Dia tidak meringis kesakitan, malah dia tertawa buas. Bu guru langsung menegur dan menyuruhnya untuk mencuci tangan. Lari sambil berlonjak-lonjak, temanku itu bersiul-siul kegirangan seakan berhasil mengerjai bu Guru.

            Masih sekitar sepuluh orang di depanku, aku masih bisa mengatur strategi bagaimana berkelit jika bu guru melihat kotornya tanganku. Saat tongkat beberapa senti lagi mengenai jari-jariku, aku akan menariknya cepat. Kupelototkan mata, kutunjukkan gigi-gigi kuningku, dan tertawa lepas. Alangkah indahnya, menertawakan bu guruku yang bawel dan suka mengatur.

            Teman-teman puteri jelas melenggang kangkung, tangan mereka sehat dan tak berkuman. Dua lagi antrean, laki-laki semua. Aku yang ketiga. Melirik sana-sini, aku melihat burung gereja berterbangan menyambut pagi. Bunga kamboja yang menghias sekolahku memberi kesan damai, aku lebih tertarik mengamati sekeliling daripada setiap hari dipecundangi bu guru. Menerima pukulan demi pukulan.

            “Adi, tanganmu mana?” gertak bu guru di depanku.

            Lamunan sekilasku buyar, aku kaget setengah mati. Walaupun aku sudah bersiap setengah mati, tetap saja teriakan bu guru laksana petir menyambar-nyambar.

            “Ah sudah, ibu sudah bosan memeriksa tanganmu. Masuk saja ke kelas, nikmati tanganmu yang kotor.”

            Aku jadi bingung, bu guru mengacuhkanku.

Tidak ada komentar