Header Ads

Liu Tze: Siulan Imigran yang Terusir dari Negeri

Kapal cadik ini membawa kami menuju tanah impian. Amerika dengan segala kelebihan yang kami dengar dari bibir buyut kami. Negeri China kami tinggalkan untuk meretas asa, mengubah kehidupan kami.

            Terombang-ambing oleh ganasnya gelombang, bersama air minum yang menipis dan harus kami bagi, kami menantang maut. Ini kami lakukan bukan karena tak mencintai negeri yang telah membesarkan kami, melainkan untuk menyambung nyawa. Kehidupan kami sekeluarga terancam oleh berbagai teror. Ayah kami, Su Tze, menentang pemerintahan otoriter melalui tulisan-tulisan yang kata beberapa orang terlalu kasar. Aku sebagai anak sulungnya sempat membaca buah pikiran beliau. Sebuah buku harian yang terletak di sebelah mesin ketik tua pernah kucermati.

            Seseorang menembak kepala ayah kami dari jarak jauh, tepat di hadapan kami ayah tersungkur. Darah bercucuran, dan sejak kejadian itu lantai tempat kami tinggal tak pernah dicuci. Ingatan itu masih jelas di dalam pikiran kami, membekas dan kami masih bertanya-tanya mengapa sebuah tulisan membuat nyawa ayah kami meregang.

            Politik, apakah selamanya akan meminta tumbal berupa kematian? Dan, mengapa ayah kami yang baik menjadi korban? Kami, lima bersaudara, yang ditemani ibu kami mencoba peruntungan di dalam kapal cadik ini.

            Sesampai di Amerika, kami akan memulai hidup baru dan membuka warung makan. Itulah impian kami.

 

Semoga keluarga Tze sampai di tujuan dengan selamat.

 

(Bersambung)

Tidak ada komentar