Header Ads

Kupaksa Diriku Menjalani Wajib Militer Rekaanku Sendiri (Biar tidak dijajah para Penguasa!)

Pagi hari aku bangun. Menatap jam dinding yang menunjukkan angka tujuh. Tirai jendela sedang bermain-main, keluar-masuk bercanda dengan angin segar. Mentari menyusup melalui celah kamar yang bisa ia tembus. Pancarannya membuatku tersenyum, sepertinya sang mentari menertawakannku karena ia lebih cepat bangun dibandingkan diriku. Aku melewatkan shalat subuh. Kuakui aku bukan muslim sejati, masih banyak lubang di hati dan pikiranku. Entah kapan aku akan menjadi seorang hamba yang taat. Aku coba seiring waktu yang masih berbaik hati kepadaku, padahal aku jelas-jelas sering melanggar perintah Tuhan.

            Selimut bergaris kutendang agar ia menghindar dari kakiku. Noda-noda hasil lelehan mulutku menghiasi seprai. Aku tak peduli. Semua telah menjadi sahabatku; kotoran, debu, dan air liur yang memesona. Sungguh aku bukan tipe remaja ideal yang mampu memberikan kesan indah bagi para turis negeri. Kecenderungan yang ada malah aku seperti orang lemah yang tak mempunyai semangat perubahan. Aku menikmati hidup ini dengan aneka kesedihan dan kejorokan. Hatiku menerima diriku apa adanya. Bukankah itu yang diinginkan negeri ini di belantara kebohongan, keculasan, kemunafikan? Dan akulah salah satu contoh yang paling dekat dan tak bisa dipungkiri. Pemuda harapan bangsa yang lemah dan tak mempunyai cita-cita tinggi.

            Satu jam lagi harus sampai di kantor. Perjalanan belum tentu sampai dalam rentang waktu itu. Mandi, berdandan, sarapan kilat, mengejar bus kota, dan berdesak-desakan bersama para ibu yang ingin mengejar dagangan di pasar. Aku yakin terlambat sampai di kantor. Tapi aku sudah mempersiapkan aneka alasan yang dari waktu ke waktu tak pernah berubah. Kesiangan, alasan paling mudah. Listrik mati, air habis, sering kali kuucapkan di hadapan atasan, bahkan alasan sakit palsu tak jarang kulakukan. Pekerjaan hanyalan sebuah basa-basi, mengisi waktu hidup, dan selebihnya berpesta pora bersama teman-teman kantor menghabiskan malam-malam panjang. Panji perusahaan adalah sebuah guyonan belaka yang harus dikibarkan setengah hati. Toh, para CEO sudah mempunyai konsep yang jelas dan para buruh sepertiku hanya menjalankan saja. Mudah bukan hidup di sebuah negeri bernama Rindunesia? Pelan-pelan asal selamat. Nikmati hidup.

            Mandi lima menit a la militer.

            Gosok gigi tak lupa, hanya beberapa gesekan saja. Anugerah Tuhan berupa gigi putih membuatku percaya diri walaupun sering kulewatkan ritual gosok gigi ini. Biasanya jika tidak sempat, aku memakan permen pewangi mulut. Beres sudah.

            Ganti pakaian secepat mungkin. Kemeja yang sudah kukenakan tiga hari, tak masalah kupakai kembali. Ada jas yang bisa menutupi kotoran-kotoran yang mungkin muncul. Aman. Tinggal menyemprotkan wewangian ke sekujur badan.

            Kupakai sepatu dan tidak lupa kaus kakinya. Tak perlu disemir licin, cukup menyambar kain lusuh, dicelupkan ke air, langsung digosok-gosok. Bersih. Toh, nanti di perjalanan akan kena injak ibu-ibu bawel di bus yang tak terima kondektur meminta ongkos tambahan.

            Air putih menyelingi sarapan roti satu lembar. Sambil merapikan rambut yang telah diberi krim penegak yang pasti.

            Siap untuk berangkat kerja. Tas kesayangan warna cokelat-sendu ambil dengan sangat hati-hati agar tak terjadi lecet. Maklum belum lunas membayarnya.

            Naik bus. Tiga ribu rupiah. Berdiri. Bersiaga penuh agar si copet tak berani mendekat.

            Sampai di kantor pukul 7.58. Terima kasih Pak Sopir, Anda memang pahlawanku.

 

2 komentar: