Akulah Erin Brokovich Rindunesia! (Mengorek-ngorek Bisnis Limbah, bukan Kuping!)
Air di rumah kontrakanku tidaklah sebening air di rumah para pejabat tinggi. Berbau dan mengandung besi jika orang kampung menyebutnya. Warnanya suram sejelek mukaku. Hanya boleh membaluri tubuhku, bukan mulutku. Air di daerahku ini tak layak untuk diminum. Untuk gosok gigi pun akan meninggalkan jejak berupa napas bau. Berbeda sekali dengan air mandi para anggota DPR yang mungkin disaring beratus-ratus kali agar kulit mereka tetap cantik dan mulus.
Di dekat rumah kontrakanku ada beberapa perusahaan besar. Mereka menyerap tenaga kerja yang tidak kecil. Membantu perekonomian daerah dan kota pada umumnya. Ini sangat bagus dan membantu peningkatan pendapatan per kapita penduduk dan ujung-ujungnya kemajuan sebuah negeri, Rindunesia. Tak sampai bising memang pabrik-pabrik itu saat melakukan produksi. Hubungan dengan warga sekitar juga aman dan tak pernah ada huru-hara layaknya film-film Amerika Serikat pada zaman depresi ekonomi. Tak ada unjuk rasa dan pemogokan massal apalagi jahit-menjahit mulut.
Tapi ada yang aneh dan patut dicurigai. Mengapa air selokan hitam, mengapa air sumur jelek kualitasnya? Insting detektifku menaruh kecurigaan bahwa limbah pabrik tidak diolah semestinya dan dibiarkan meresap ke tanah-tanah warga. Inilah yang menjadi pertanyaan besar pada diriku. Sepertinya warga diberi semacam uang tutup mulut berupa limpahan air gratis. Salah satu pabrik membuat jamban air yang disitu warga bebas untuk mengambil air. Anehnya, air yang keluar dari pabrik kualitasnya lebih baik dibandingkan air di rumah-rumah warga. Apakah ini sebuah pengalihan konsentrasi dan mulut warga dibungkam agar tak melakukan perlawanan.
Masih perlu ditelusuri dan dicari data-data kebenarannya. Aku ingin seperti Erin Brokovich.
Post a Comment