Rindunesia: Negeri yang tidak ramah bagi orang cacat?
Kamar sempit ini menjadi saksi bisuku mengisi hari-hari yang abu-abu. Hitam akibat pandangan sinis orang-orang sekitar, putih karena keyakinanku bahwa dunia tidaklah searogan yang mereka pikir. Aku masih mempunyai kebesaran hati untuk melangkah dalam kehidupan ini. Kurangkai nada-nada, kutekan tombol-tombol piano, mencoba membuat irama indah. Aku seorang pencipta lagu, pengucap kalimat bermakna, dan penghibur bagi mereka yang mau mendengarkan. Setidaknya ini lebih baik daripada aku mengemis di jalanan Los Angeles.
“Aku hanya ingin kau tak mengeluh menjadi seorang buta!”
Kata-kata terakhir Mama selalu terngiang di hatiku. Sebaris kata itulah yang selalu menjadi pemacuku untuk membuktikan kepada dunia. Menantang kesombongan manusia-manusia yang mengaku dirinya paling tidak cacat. Malahan menyandangkannya kepada kami, memendam prasangka dalam hati, dan menghindar secara sengaja saat orang-orang seperti kami membutuhkan bantuan.
Tapi aku belajar dari mereka, aku tak ingin terlalu sombong dengan segala keinginan kasarku ini. Biarlah menjadi keinginan yang kuselimuti rapat dengan kerja kerasku mencipta lagu. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Post a Comment