Header Ads

Ayat-ayat Perawat Cinta (Mega Bestseller)

Panas memburu dalam mulutku. Langit-langit terbakar dan rasanya sampai ke ujung rambut. Mata tertekan oleh nuansa menggelegak dari sambal pedas. Takarannya sudah melebihi kemampuan perutku. Usus, lambung, dan organ pencernaan lain berteriak tak mampu menahan sensasi panas ini. Berawal dari mulut, rasa ini mengalir ke sekujur tubuh.

            “Sudah kubilang, jangan makan makanan pedas. Kalau seperti ini, siapa yang kena susah? Aku kan.” Teriak istriku.

            “Aku sebenarnya sudah jera, Bu. Tapi teman kantorku memaksaku untuk makan rujak.”

            “Alasan saja. Kalau kamu sayang sama kesehatanmu, tak mungkin kamu berlaku seperti ini.”

            Anehnya, penderitaanku mereda justru ketika istriku marah tak jelas arah. Sepertinya dia sedang mengalirkan aliran pereda pedas ke dalam mulut dan perutku. Aku menebak dia menyalurkan kasih sayang melalui mulutnya.

            “Ini, coba kamu makan obatnya.”

            Aku melihat punggung istriku saat dia mengambil obat mencret di kotak obat. Masih seperti dulu, bentuk punggung yang sangat kusukai. Dia membalikkan badan dan tahu bahwa dirinya tengah kuamati. Tersenyum manis kepadaku, dia mendekatiku.

            “Ayah, ibu sangat sayang sama ayah. Jadi, kalau ibu melarang ayah makan ini dan itu, tandanya ibu peduli. Jadi tolong besok-besok jangan diulangi, ya.”

            Aku tersenyum. Merasa bangga mempunyai istri seperti dia. Rasa mualku semakin tak mendapat tempat. Ia hilang dan nyaris tak kurasakan lagi. Tapi tetap saja kuturuti perintah istriku untuk memakan obat sakit perut itu. Berasa pahit namun teredakan oleh tatapan hangat istriku.

            Istriku seolah menjadi perawat hati dan tubuhku.

Tidak ada komentar