(Tak) Ada yang Kubanggakan dari UGM?
Mantan mahasiswa berjaket cokelat itu berkunjung ke kampus basis pejaket kuning. Ada sesuatu yang baru dan mengusik hatinya. Pertanyaan itu menyembul seakan menyengat pribadiku sebagai almamater berjaket cokelat. Kebanggganku sebagai almamater, yang kadang berubah menjadi cinta buta, kini runtuh dan jatuh berkeping-keping. Hancur dan menjelma menjadi perenungan mendalam.
Aku memasuki kawasan intelektualitas yang dalam hatiku tak lebih sama bahkan rendah dibandingkan kampusku. Chauvinitas pendidikan itu kini berubah seratus delapan puluh derajat. Kebanggaanku yang cenderung membabi buta sekarang menjadi pengamatan objektif. Penilaianku selama ini ternyata salah. Kampus kuning tak ubahnya sebuah institusi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan tempatku dulu belajar.
Konsep penataan kampus ini terlihat jelas mulai dari gerbang masuk. Entahlah, karena aku belum menelisik lebih dalam, bisa jadi anggapanku salah. Namun kesan pertama kampus kuning itu sungguh menawan. Pepohonan hijau dengan sungai yang mengalir sungguh membuai mata tamuku. Belum lagi bus mahasiswa berwarna kuning dan jalur kereta api yang berdekatan, menimbulkan persepsi yang profesional. Kampus profesional.
Yang membuatku makin tersentak adalah waktu aku berkunjung ke sana, jam enam petang, aku masih melihat kegiatan mahasiswa di sana. Perpustakaan serasa hidup dan menjadi tempat belajar yang nyaman bagi mahasiswa. Ini sangat berbeda dengan kampus cokelat. Di sana mahasiswa diharuskan segera pulang di atas jam lima sore. Kehidupan kampus memang masih hiruk pikuk, tapi itu digunakan untuk mahasiswa ekstensi. Selebihnya mahasiswa kelas pagi: bermain, belanja, atau kalau mau belajar sedikit saja.
Aku iri melihat kampus kuning. Kesan awal itu sungguh menggoda. Entah kesan selanjutnya.
Post a Comment