Drama Penyekapan Buruh Migran
Aku berpikir salah apakah selama ini. Telah bertahun-tahun majikan aku bantu, namun perlakuan demi perlakuan kasar selalu ditimpakan kepadaku. Di kamar gelap dan sempit ini, penderitaanku sebagai buruh migran mencapai titik nadir. Aku merasa bukan lagi sebagai manusia, hatiku telah hancur dan tak layak lagi menyandang predikat sebagai manusia.
Sudah lima hari aku disekap di dalam kamar biadab ini. Makanan hanya diberikan majikanku sekali dalam sehari. Itupun makanan sisa mereka yang dimasukkan dengan dilemparkan paksa. Butiran nasi dan lauk tercecer di lantai kotor penuh debu ini. Dan terpaksa aku menjilati lantai agar rasa laparku dapat tertekan. Tanganku terborgol ke belakang, membuatku seperti domba terikat yang siap dipancung lehernya. Gelapnya kamar membuat hatiku semakin muram. Tak sempat lagi kupikirkan anak dan suamiku di negeriku, yang ada hanyalah berharap hidupku masih tersambung. Berdoa supaya majikanku sadar akan perbuatan jahanam mereka.
Aku tak berbohong dengan keadaanku ini. Kamar gelap ini seakan mendorongku untuk melakukan tindakan bunuh diri. Tapi aku teringat guru mengajiku di kampung bahwa arwah orang yang bunuh diri tidak akan diterima Allah. Jadi kuurungkan keinginanku itu, menjelma menjadi sebuah keyakinan hati untuk sekadar bertahan.
Kadang penyesalan timbul dalam hatiku. Mengapa aku dulu memutuskan untuk berangkat ke negeri orang? Namun semua itu berawal dari tekadku untuk menerbitkan kembali ekonomi keluargaku yang carut marut. Suamiku sudah tak mampu lagi memberikan penghasilan karena tubunya yang lumpuh. Dia dulu seorang supir taksi yang sayang kepadaku dan kedua anak kami. Semua berjalan seperti keluarga pada umumnya. Akan tetapi cobaan itu datang kala suamiku dirampok oleh sekawanan pemuda mabuk. Mereka menyiksa suamiku dan membawa kabur taksi. Parah sekali keadaan suamiku waktu itu. Hingga saraf-sarafnya terganggu dan lumpuh menjadi kata mati buatnya. Aku menerima keadaan itu dan berjanji untuk menyambung laju napas ekonomi keluarga kami. Akhirnya aku berangkat ke negeri impian. Menjadi pembantu rumah tangga.
Dan kini aku meringkuk di dalam kamar gelap mengerikan ini. Menerima hukuman majikan yang biadab. Aku bersumpah tak pernah melakukan hal curang apapun. Namun majikan putriku memfitnahku telah berzina dengan suaminya. Astaghfirullah, mengapa tuduhan itu terus dituduhkan kepadaku. Demi Tuhan, aku masih mempunyai hati nurani. Bagaimana kelak dua anak dan suamiku di rumah jika aku melakukan tindakan itu? Pantaskah bagiku? Aku masih memiliki harga diri. Tak pantas aku menjual nama bangsaku dan mereguk kenikmatan badaniah di negeri orang. Dosa apa yang akan kutanggung bila itu terjadi?
Tapi biarkanlah dunia baru ini tak adil terhadapku. Asal aku adil terhadap Tuhan yang telah menciptakanku dan keluargaku yang menanti di kampung. Aku sekarang berpikir dan membuat rencana untuk melarikan diri dari kamar terkutuk ini. Entah bagaimana caranya. Selepas aku keluar dari keluarga binatang ini, aku akan beberkan kepada dunia kecurangan yang dipertontonkan kepada makhluk lemah sepertiku. Akan aku tunjukkan bahwa seorang buruh migran mutlak membutuhkan perhatian juga. Kami bukan binatang yang bisa diperas semena-mena. Kami mempunyai hati nurani yang harus dihargai semestinya. Pemerintah konyol yang hanya bisa memberangkatkan kami dan mengelak saat terjadi penyekapan dan pemerkosaan atau apapun. Dalam beberapa hari ini aku pasti ke luar dari kamar ini.
Doakan aku berhasil.
Post a Comment