Bangsa (hanya) Idol dan Badminton?
Apa yang terjadi dengan penduduk yang berjumlah lebih dari dua ratus jiwa ini? Mengapa kemeriahan hanya terjadi kala perhelatan badminton? Tidak pada cabang olahraga lain? Olahraga memang bukan pentas politik. Raga diolah bukan untuk guyonan. Dan, olahraga Rindunesia hanya dipandang dari badminton saja. Cabang lain menjadi anak tiri yang selalu tertindas. Jika bung Nelson Mandella menjadi pemimpin negeri ini, dijamin akan meneriakkan praktik apartheid ini. Untung saja Rindunesia mempunyai pemimpin sendiri. Yang lebih menyukai menutup mata terhadap perkembangan olahraga tanah air. Biar lambat asal selamat. Itulah semboyan yang terus dilestarikan. Mereka berdalih, budaya pelan tapi pasti itu musti dijalankan.
Di saat negeri lain melakukan investasi besar-besaran demi perkembangan olahraganya, Rindunesia masih sakauw menambal kebocoran di mana-mana. Entah persoalan politik yang carut marut, pendidikan yang berantakan, atau ekonomi yang super amburadul. Selain itu, pemerintah harus memuaskan berahi negeri adikuasa. Seolah disetir dari Washington, pemerintah kita ikut terkapar kala ekonomi negeri Paman Sam mulai dilanda resesi akut. Dan akibatnya adalah penelantaran dunia olahraga.
Seakan sadar dengan kondisi negeri yang memang masih mencari bentuk, ini adalah ungkapan orang kerdil, maka pengurus tiap cabang olahraga melakukan manuver cantik. Kreativitas mengolah organisasinya. Ada yang melakukan pengetatan pengeluaran, perampingan fungsional organisasi, dan aneka tindakan bijak lainnya. Situasi tak tentu negeri membuat para elit olahraga semakin terdorong untuk mengangkat pamor olahraga Rindunesia. Ekonomi biarlah masih jalan di tempat, tapi olahraga harus bangkit. Karena kejayaan negeri juga sangat didukung kesuksesan olahraganya.
Badminton adalah salah satunya. Sempat terpuruk karena kurang lancarnya regenerasi, mereka kini mulai bangun dari tidurnya. Memanfaatkan kesempatan menjadi tuan rumah, didukung semangat para penonton, para atlet badminton bahu-membahu melibas lawan. Memang terlalu dini apakah ini menjadi titik awal kebangkitan olahraga Rindunesia. Namun kita harus adil bahwa olahraga negeri ini masih mati suri. Ada beberapa cabang yang mulai menunjukkan prestasinya, tapi selebihnya hampir mati tak terurus.
Bila kita menilik prestasi China yang penduduknya sangat besar, seharusnya kita bisa minimal mendekati atau belajar dari mereka. Ketersediaan manusia sangat besar dan bisa dilatih sedemikian rupa agar mencetak atlet berprestasi. Suku bangsa juga melimpah dengan segala potensinya. Apakah kekayaan ini masih terus menjadi penutup mata bagi pemerintah? Seyogyanya pemerintah harus lebih memfokuskan diri terhadap tindakan nyata dan bukan hanya bualan kosong. Atau pemerintah tetap bersikukuh menjadikan negeri ini sebagai negeri sinetron? Negeri artis bodoh yang hanya bisa berdandan melalui kamera televisi? Ah betapa bodohnya kita jika menilik sepak terjang negeri lain.
Kala banyak mata tertuju ke lapangan badminton, selayaknya kita juga merenungi nasib cabang olahraga lain yang belum diolah. Mari kita berjuang bersama-sama.
Post a Comment