Header Ads

Dari dalam Kubur (Jeritan Arwah Nenek Moyang Berusia 100 tahun)

Kami arwah para pendiri bangsa merasa prihatin dengan keadaan negeri yang dulu kami dirikan. Melihat kondisi bangsa yang jauh dari harapan kami semula, kami seakan ingin muncul lagi ke bumi. Tidak ingin merebut pemerintahan, tapi kami ingin membantu anak cucu kami yang sedang sengsara. Kehilangan identitas diselimuti apatisme yang sungguh parah. Wahai para pemimpin negeri, bolehkah kami para arwah pendiri bangsa hidup kembali? Bolehkah kami mengulurkan sekadar kemampuan kami untuk mengurai permasalahan ini?

            Sungguh salah dulu kami memutuskan untuk meninggalkan anak cucu kami. Berharap terlalu berlebihan kepada mereka yang sebetulnya belum matang untuk mengurus negeri. Kami di alam kubur sudah gerah untuk memberikan bantuan ke atas tempat tidur kami. Tak tega anak cucu kami sengsara dan bertubi-tubi diuji tanpa pernah berhasil melaluinya. Alangkah bodohnya kami dulu meninggalkan dunia di saat anak cucu kami masih balita. Kami mengaku salah melimpahkan urusan negeri yang baru merdeka. Kami terlalu awal menilai, merasa salah mengambil pilihan. Andai saja kami tak cepat mati, pasti keadaan negeri tak akan sekacau ini.

            Andai Tuhan mendengar rintihan kami dan mengizinkan kami untuk hidup kembali, kami serta merta akan membimbing anak cucu negeri. Menunjukkan jalan terang yang telah dirancang para pendiri bangsa yang semuanya telah mati. Mengajari satu persatu semangat yang belum sempat kami tularkan kepada mereka. Kami terbuai oleh kata “merdeka”, kami terlena oleh sebuah keindahan merdeka. Kebebasan yang telah kami perjuangkan beratus-ratus tahun telah hilang dalam satu hari. 17 Agustus itu seakan menjadi titik awal kehancuran bangsa. Semangat itu terus memudar di tengah semakin menuanya bumi.

            Seandainya Tuhan memberi kesempatan bagi kami para leluhur bangsa, kami akan menangguhkan kemerdekaan 17 Agustus itu. Dan, kami bertekad mengusir penjajah, mengirimkan mereka ke negeri masing-masing. Namun tanpa kata proklamasi yang harus dikumandangkan. Karena kami kini sadar bahwa lantunan itu hanya mengalihkan perhatian kami dan mengendurkan nasionalisme. Kami mengenyahkan penjajah sejauh-jauhnya tanpa kata merdeka. Itu lebih penting dibandingkan merdeka tapi kosong di tengah perjalanan. Dan itu dialami oleh anak cucu kami.

            Kami di alam kubur ini merintih sejadi-jadinya melihat bangsa yang terus terpuruk. Di tengah lautan, pulau-pulau bangsa terkikis oleh duka berkepanjangan yang serasa tak akan pernah putus. Namun kami sudah berpisah dari para anak cucu. Kami hanya berharap dan terus berdoa, semoga anak cucu kami lekas menemukan jalan ke luar. Menemukan kembali roh kemerdekaan sesungguhnya.

 

Menyambut 100 tahun kebangkitan bangsa.

2 komentar:

  1. 1945 - 2008
    katanya zaman teknologi
    zaman maju
    era komunikasi
    tapi kenapa negara semakin ga jelas arahnya yah
    mungkin negara kira memerlukan motivator nasionalisme
    tidak melulu motivator bisnis atau relationsip

    BalasHapus
  2. SAYALAH PILIHAN TEPAT ITU!
    mbak Icus mah jadi manajerku sajah
    Kalau ada suapan ntar kita bagi rata. OK?

    BalasHapus